Wednesday, March 30, 2005

Subjektif? Objektif? Whatever...

Jakarta, 6 Maret 2005

Dunia kita terbuat dari apa sebenarnya? Warna langit di atas kita, laut di sisi daratan, bau tanah yang baru dihujani, angin menerpa kulit, dinginnya air di subuh hari; semuanya adalah sensasi yang digambarkan oleh sel-sel peraba dan perasa di seluruh organ kita. Persepsi atas apa yang kita pelajari, pahami dan alami. Segalanya subjektif; tidak ada sesuatu yang objektif di muka bumi, sebab apa yang dipahami orang sebagai objektivitas hanyalah subjektivitas beberapa orang secara sama dan bersama.

Aku memikirkan hal ini setelah melewatkan waktu sejam bersama seorang pengusaha. Orang itu bukan pengusaha berdasi, bukan eksekutif muda dari kompleks perkantoran di kawasan Sudirman, bukan pula pialang saham BEJ. Orang itu berasal dari Tegal. Orang itu pengusaha warung. Tepatnya, orang itu pemilik salah satu dari sekian ribu warteg yang tersebar di ibukota Jakarta. Aku berbincang dengannya pada suatu dini hari yang sepi ketika embun mulai mewujudkan diri di atas jalanan yang kosong.
Dia bercerita tentang banyak hal selama sejam itu sambil sesekali melayani pembeli yang datang mencari pengganjal perut di malam dingin (termasuk aku). Pada mulanya dia bercerita tentang anak-anaknya di kampung halaman dan rutinitas harian mereka. Tentang susahnya ia mengurus anak-anak yang selalu bertengkar dengan saudara-saudaranya. Tentang susahnya menghadapi ibu yang sudah pikun dan kembali bersikap seperti anak-anak. Tentang susahnya ibu bapaknya dulu mengurus dirinya dan saudara-saudaranya ketika ia masih kecil. Tentang hal ini dan hal itu. Dan hal-hal lain.
Yang membuatku berpikir lebih jauh adalah uraiannya tentang kebiasaan ngidam ibu-ibu hamil di kampungnya. Ngidamnya aneh-aneh, maunya makan yang aneh-aneh. Ada yang suka makan beras, makan sambel, makan mangga yang masih seujung kelingking, makan nasi pemberian tetangga (nasi buatan sendiri tidak suka), makan rebusan kepiting kecil, makan balsem (!) dan sebagainya. Ada juga yang samasekali tidak ngidam tapi suaminya yang jadi aneh, lemas dan berbaring saja seharian. Semua itu terjadi selama 3-4 bulan masa kehamilan. Setelah sang janin naik pangkat jadi bayi, segala hal kebiasaan ngidam itu hilang semua. Orang-orang percaya bahwa ngidam yang tidak dipenuhi akan membawa efek negatif pada anak tersebut hingga dewasa (kata orang anak tersebut bakal suka berliur tanpa sadar/ ileran). Karena itu sang pengusaha warteg menasehatiku agar tidak mengomeli (nanti kalau sudah punya) istri ketika ngidam sesuatu.

Aku belum pernah melihat orang yang ngidam. Ketika kutanya ibuku apakah beliau pernah ngidam sewaktu aku masih menggelantung di dalam perutnya, ternyata ibuku tidak ngidam apa-apa. Maka bagiku, konsep ngidam adalah suatu konsep tradisional yang dimiliki dan dipertahankan oleh masyarakat tertentu. Aku lebih senang mengartikan ngidam sebagai perubahan hormonal seorang ibu hamil yang entah bagaimana mempengaruhi persepsinya terhadap rasa dan keinginan. Bagi ibu yang sedang ngidam makan mangga sekecil kelingking, rasa mangga itu jauh lebih enak daripada semangkuk soto ayam, misalnya. Sementara bagi kita berlaku kebalikannya. Jadi, anggap saja sejauh ini perubahan hormon sang ibu hamil yang jadi biang keladi.
Lantas bagaimana dengan kasus suami yang menunjukkan tanda-tanda ngidam padahal istrinya berlaku biasa-biasa saja? Hal inilah yang mengandaskan penalaran sampai membuatku berpikir bahwa sesuatu yang objektif itu tidak ada karena segala pemahaman yang bersifat objektif sebenarnya terbangun dari adanya rasa atau penilaian tertentu yang timbul dari beberapa orang secara sama dan bersama (ingat, perasaan manusia itu subjektivitasnya tinggi).

Muara dari pemikiranku adalah suatu jenis pertanyaan seperti ini. Benarkah ini hidup kita sendiri yang kita jalani, bukan hidup yang digariskan orang lain atas diri kita? Sebab ternyata penilaian kita terhadap dunia sangat tergantung pada apa yang dikirim indera-indera kita ke pusat kesadaran melalui segenap urat saraf dan juga pada apa yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Orang lain bisa saja bermain dengan indera kita sehingga kita percaya saja mentah-mentah apa yang indera kita persepsikan. Mata, telinga, kulit, hidung, semuanya bisa ditipu. Mungkin kita bisa menghindar dari penipuan yang dilakukan terhadap indera-indera kita dengan mengandalkan rasio dan pengetahuan. Masalahnya, orang juga bisa bermain dengan pengetahuan yang kita yakini sebagai kebenaran melalui cuci otak yang terbukti ada sejak lama. Jika semua kekhawatiran di atas benar adanya (mudah-mudahan tidak), tidak ada lagi yang bisa kita percaya. Termasuk diri kita sendiri.

Aku ingat satu film yang judulnya The Truman Show (aktor: Jim Carrey). Dalam film itu diceritakan kehidupan seorang Truman yang ternyata hanyalah sebuah drama TV. Semua orang yang ada di dalam kehidupannya adalah aktor dan aktris. Termasuk orang yang Truman yakini sebagai ayahnya. Truman tidak pernah tahu bahwa seluruh hidupnya hanyalah sandiwara, bahwa sejak masih berupa janin dia sudah ditonton oleh orang sedunia. Bagi Truman, hidupnya adalah nyata. Bagi penonton, Truman adalah drama TV. Aku menjadi sangat ngeri ketika memikirkan bagaimana seandainya kita semua adalah Truman. Bagaimana jika ada orang yang membuat hidup kita sebagai drama TV yang ditonton 24 sehari, 7 hari seminggu sepanjang tahun. Bagaimana jika langit biru di atas kepala kita ternyata sebuah kubah raksasa seperti langit Truman?

No comments: