Sunday, December 11, 2005

Kucing-kucingan

Hari ini (Minggu, 11-12-2005) saya dapat pengalaman baru yang aneh waktu pulang dari jalan-jalan dan singgah makan siang di warteg langganan. Selagi makan, ada kucing yang jongkok di bawah saya. Saya pikir, kucing memang biasanya dekat-dekat orang makan dengan harapan dapat sedikit tulang ikan atau sisa-sisa lauk. Tapi kucing yang satu ini lain.
Saya baru menyadari bahwa ada kucing di antara kaki saya setelah secara naluriah saya menunduk ke bawah dan mendapati seekor kucing yang aneh. Saya sering melihat kucing rumah ataupun kucing jalanan jadi saya tahu kucing yang satu ini benar-benar aneh.
Tatapan matanya bukan tatapan mata kucing biasa. Dia hanya menatapi saya tetapi entah kenapa saya merasa dia sedang berbicara pada saya, meminta sedikit lauk. Mata itu,...memilukan. Dia tidak mengeong atau mengelus-eluskan kepalanya ke kaki saya. masih terlingkupi rasa heran, saya lemparkan sedikit lauk saya. Dia pun makan.
Saya melanjutkan makan. Iseng-iseng saya perhatikan lagi kucing itu. Dia sudah menghabiskan pemberian saya dan kembali memohon dengan tatapan pilunya itu. Kali ini saya tak mengacuhkan dia. Tak dinyana, dia melakukan gerakan yang lebih mengejutkan: dengan kaki kanan depannya dia menyentuh kaki saya, persis seperti pengamen yang mengulurkan tangan kanannya mengharapkan imbalan. Saya tersentak. Gila! Ini kucing kalau tidak sangat pintar pasti bukan kucing biasa. Mana ada kucing yang menyentuh dengan kaki kanan depan untuk minta makan? Akhirnya saya beri lagi sedikit lauk.
Kalau reaksinya tadi mengejutkan, reaksinya mendapati pemberin saya jauh lebih aneh. Dia tidak mau memakannya. Kebetulan yang terakhir saya beri berupa sepotong jantung ayam utuh. Dia mengeong sambil menarik-narik makanannya. Seakan-akan yang saya berikan itu tidak sesuai seleranya. Cukup lama dia mengetes jantung ayam itu, mengendusnya sejenak, mencoba menggigitnya sebelum kemudian meninggalkannya. Akhirnya kucing lain yang juga sedang mengendus-endus makanan melahap jantung ayam itu.
Setelah melihat ada kucing lain memakan lauk yang saya beri pada kucing aneh itu, saya semakin yakin bahwa itu bukan kucing biasa. Saya berpikir kucing itu punya atau pernah punya secuil jiwa yang bukan jiwa kucing. Jiwa manusia, mungkin. Saya bahkan berpikir mungkin kucing itu reinkarnasi seseorang atau dulunya manusia tapi dikutuk jadi kucing. Wallahua'alam bishshawab.

Monday, October 10, 2005

Di warung nasi uduk depan Wismarini

"My days, my days,the ones have long been gone so far.The best times of life."

Jakarta, 9 Oktober 2005

Malam Senin. Mobil motor angkot bus lewat kencang di jalan Otista Raya. Saya makan di warung nasi uduk depan asrama UI Wismarini. Mau foya-foya sedikit, soalnya tadi buka cuma dengan air putih seteguk. Makan sendirian, seperti biasa.
Menu malam ini: soto ayam es jeruk. Tujuh ribu. Suapan pertama langsung terasa: sotonya agak terlalu gurih dan es jeruknya kurang gula. Sudahlah. Lanjut dengan suapan kedua sampai itu piring licin, itu mangkuk bersih, itu gelas tinggal berisi es. Di antara suapan-suapan, datang tamu tak diundang. Munculnya tiba-tiba, efeknya langsung terasa. Saya teringat ruang makan di SMU saya yang berasrama saat melihat potongan ayam di soto saya.
Ruang makannya disebut ruang saji. Lebarnya kira-kira 10 meter, panjangnya kira-kira 40 meter. Meja-meja kayu untuk enam orang berderet rapi tiga-tiga. Di luar jam makan atau kudapan jam 10 pagi, di atas tiap meja tersusun rapi 6 gelas dan sebuah tempat air minum yang selalu penuh. Di ujung ruangan ada meja panjang khusus untuk guru, staf dan tamu sekolah kalau ada. Kadang-kadang alumni yang berkunjung juga diajak guru makan di meja guru.
Sebenarnya tiap siswa bisa duduk di meja mana saja, tapi mereka biasanya sudah tahu di meja mana dia merasa paling nyaman setelah semester pertama. Entah karena posisi mejanya paling dekat ke dapur sehingga tidak jauh dari sumber makanan, ataupun karena orang-orang yang biasa duduk di meja tersebut adalah teman-teman dekatnya.
Waktu kelas 1, saya sering duduk di meja deretan tengah, paling jauh dari meja guru. Teman semeja saya laki-laki semua dan tidak tetap. Waktu kelas 2, saya duduk semeja dengan petinggi-petinggi OSIS (kelas 3) yang memilih meja yang paling dekat dapur. Mereka itu, selain aktif di kegiatan ekskul, juga aktif dalam hal mengunyah. Seringkali meja kami yang kosong paling akhir saat makan malam. Yang paling berkesan adalah meja saya waktu kelas 3. Posisinya paling ujung ke arah meja guru sebelah kiri. Di antara meja guru dan meja saya, ada satu deret meja lagi yang memisahkan. Penghuni tetap meja itu selain saya adalah Ihsan, Alif, Restu, Fajar dan Icha. Saya dan Ihsan kelas 3 IPA 1, Alif kelas 3 IPA 2, Fajar kelas 2.1, Restu dan Icha kelas 1.2.
Ihsan adalah teman kamar saya selain dua orang lain lagi (Efi dan Awi). Alif teman saya dari SD, bukan teman kamar tapi sering nongkrong di kamar saya. Fajar tinggal dua kamar di sebelah kamar saya, juga sering nongkrong. Restu adalah siswi baru yang kami (saya, Alif, Ihsan dan Fajar) nilai cukup bernyali untuk datang ke meja empat senior cowok pada suatu siang di bulan pertamanya sebagai siswi SMU. Jadilah dia anggota kelima meja kami. Karena satu kursi masih kosong, kami sepakat mencari siswi kelas 1 lagi agar Restu tidak “sendirian” di meja itu. Beberapa orang tidak pernah bertahan lebih dari sekali sampai akhirnya Icha muncul dan bertahan.
Kami berenam selalu berusaha makan bersama di meja itu siang dan malam kecuali ada hal-hal lain. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat kami mendapat menu makan siang istimewa.
Sebulan sekali, atau dua bulan sekali, atau sesemester sekali (tergantung tuah dari langit), menu makan siang istimewa kami berupa opor ayam dengan potongan kentang. Hari itu adalah rezeki para siswa yang sudah terbiasa dengan tempe dan tahu. Sejak melewati pintu masuk sampai tiba di meja masing-masing, wajah-wajah ceria terpasang di mana-mana. Tak terkecuali kami.
Jika menunya ayam, meja yang biasa makan sebakul, bisa jadi dua bakul. Yang biasa dua bakul jadi dua setengah bakul. Meja kami hari itu tercatat tiga kali menambah nasi yang biasanya cuma sekali. Semua meja di sekitar meja kami terheran-heran. Saat yang lain sudah meletakkan sendok, di meja kami cuma Restu dan Icha yang tidak berkutat dengan potongan ayam yang belum habis setengahnya. Bakul keempat tidak habis karena kerongkongan manusia hanya bisa melewatkan dan bukan menyimpan makanan.
Sejujurnya, kami juga heran sendiri. Maka analisis pun diluncurkan. Penyebab utama: menu istimewa. Penyebab sampingan: tidak satupun dari kami yang makan pagi dan mengambil jatah kudapan jam 10. Penyebab lain: kami adalah empat cowok dan dua cewek yang terkenal tetap lahap meskipun menunya tidak begitu membangkitkan selera.
Rasanya keceriaan dan tawa yang selalu hadir di meja itu nyaris mewujud di depan saya, di pinggir jalan Otista Raya. Saya segera membayar lalu pergi sambil menghembuskan napas panjang kerinduan.

Inspirasi sebelum sahur

Jakarta, 6 Oktober 2005 jam 2 pagi.
Keindahan malam-dini hari adalah saat kau mendengar napasmu satu-satu, menghirup lamat-lamat aroma melati sambil memandang ke arah atas tempat gemintang bercokol.
Di jalan raya depan sana lampu jalan besar menumpahkan kuning sinarnya pada kelabu aspal yang mendingin.
Mobil, angkot, taksi lewat malu-malu di bawah lampu yang menyala merah. Sebagian sok patuh pada warna dan lebih banyak jalan saja (meskipun ukuran "banyak" tidak relevan pada jam 2 pagi).
Di dalam kamar dengung kipas komputer bertimpalan dengan geleguk perutmu yang mulai kosong sehabis makan malam 4,5,6 jam lalu, dihiasi serangga nokturnal khas sekali.
Di dalam kepalamu yang baru menyala pada jam segini, beribu kata hendak mewujud namun sayang jarimu belum cukup terampil bermain dengan papan ketik sampai akhirnya kau cuma bisa duduk diam depan komputer, garuk-garuk.
Tanganmu menggelantung bebas di atas papan ketik, tidak tahu apa pikir si empunya tangan.
Ah, seharusnya kau tahu, pada jam 2 pagi otakmu yang keseringan mengunyah Hollywood itu lebih bisa menangkap tulisan di buku kuliah kedokteran setebal bantal. Malah kau sibuk bolak-balik kumpulan tulisan Umar Kayam "Dialog".
Hei, anak muda, waktu-waktu emas seperti ini terlalu berharga untuk kau buang di depan komputermu yang melambat atau dalam tenggelammu di antara huruf-huruf bukan bahan kuliah.
Tapi terserah kau sajalah. Memang selalu lebih enak melayani keinginan dibanding kebutuhan.
Sebentar lagi modin dari mesjid pinggir jalan raya bangun. Membangunkan orang yang mau memasak buat sahur, yang mau sahur, dan yang terlalu lelap untuk sahur.
Cepatlah, mbakyu-mbakyu warteg 24 jam tongkronganmu menunggu.

Wednesday, August 24, 2005

Catatan liburan semester 4 menuju 5

Liburan panjang semester ini = 5 minggu pulang kampung = perbaikan gizi = naik 9 kilo = nggak kuat push up lagi = nggak berolahraga
5 minggu di rumah = makan-tidur-nonton TV-jalan bareng temen SMA-nongkrong di kampus orang (UNHAS)-jaga rumah = frekuensi surfing berkurang karna warnet jauh n dial up dari rumah mahal = blog nganggur lama.
Jalan-jalan ke SMA-ku = kenalan sama adek kelas + ritual pertemuan alumni.
Ketemu sama teman-teman, yang lama dan yang baru. Berusaha lupakan perasaan terhadap seorang "teman" lama. Usaha yang gagal.
Baca buku-buku: Supernova (KBPJ+ Akar+ Petir), Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran, Bahasa Menunjukkan Bangsa (belum selesai sampai sekarang), Ayat-Ayat Cinta, Tirani dan Benteng+Malu Aku Jadi Orang Indonesia (keduanya kumpulan puisi Taufiq Ismail), dll.
Beli beberapa kaset, sebagian beraliran New Age.
Nonton film baru di bioskop. Sendiri ataupun bareng teman, hari Senin (no-mat) ataupun hari lain. Film bermutu ataupun bikin ketawa.

Tuesday, July 05, 2005

Sunatan Massal

Hari Minggu lalu (3 Juli 2005) saya ikut sunatan massal (harap dicatat, ikut NYUNAT, bukan disunat). Yang bikin acara PT. SCTI, produsen kain di Ciracas. Nyunatnya seharian di markas mereka. Singkat cerita, jam 7 pagi kita (baca: anak-anak TBM) udah ngumpul di IGD RSCM, coz bis yang bakal bawa kita ke Ciracas nuggu di sana. Setelah beberapa menit nunggu yang telat, berangkatlah itu bis ke Ciracas. Anak-anak TBM yang nggak ikut di bis nyusul langsung ke lokasi.
Syahdan, (berasa kayak hikayat Melayu kuno nih ;P) tibalah kita di PT. SCTI itu. Pas turun, disambutlah kita dengan tuan rumah yang langsung ngarahain ke ruang makan pabrik. Sarapan dulu nih, nyaamm. Saya ngambil nasi goreng bakso plus telur dadar, nggak lupa sambel terasi. Abis itu nambah sambel,…sekalian nasi juga. Ujung-ujungnya blum apa-apa makan kenyang gratis aja, hehehe (sfx mode: sendawa).
Selesai makan pagi, ketua rombongan alias dokter muda Jacky Desfriadi ngumpulin kita buat taklimat (this is the Indonesian word of “briefing”). Standarlah, kita-kita berdoa, diingatin buat selalu bersikap profesional, blablabla (sfx mode: ngangguk-ngangguk). Abis Jacky, giliran dokter (FYI, there’s no such thing as “dokter tua”) pemberi job yang ngasih inget lagi tahap2 motong “barang” orang, n agar SELALU berhati-hati, soalnya ini berkaitan dengan masa depan seseorang. Kan berabe juga kalo kepala “barang”nya ikut kepotong. Bisa-bisa dituntut malpraktik lagi (sfx mode: muka waspada celingak-celinguk)
Dan meluncurlah kita dalam formasi tiga-tiga ke “ruang bedah”. Satu orang yang ngerjain si anak (“operator”), satu yang bantu ngerjain (“cooperator”), satu lagi urusan nyiapin alat n jadi pembantu umum (“instrument”). Saya dapat empat anak, dua kali jadi co-op, dua kali jadi instrument. Sebelum yang kemarin itu saya baru sekali ikut sunatan massal, jadi blum kesampaian jadi op. Nggak papalah, yang penting ilmunya udah nambah.
Sehabis makan siang n salat, kita beres-beres. Pasiennya sengaja disunat semua sebelum istirahat biar nggak nganggung. Pas mo pulang, ada oleh-oleh dari yang bikin acara berupa kain bahan pakean warna biru tua (sfx mode: “YAY! Seneng banget!”). satu orang dapat satu. Kainnya lumayan lebar, kira-kira 1x4 m. Bisa jadi 2 pakean tuh.
Jam 4 rombongan cabut lagi ke kampus. Awalnya sih, bengong doang di jalan, paling-paling ngobrol. Nggak lama kemudian, ada yang bawa kartu. Ada juga yang ngusulin main Pancasila lima dasar. Jadinya rame deh, yang depan main Pancasila, yang belakang main truf (FYI, truf adalah permainan kartu favorit anak TBM). Saya ikut main truf n nggak pernah kalah, soalnya pasangannya jago sih, :D. Yang main Pancasila mainnya aneh bener, soalnya yang harus disebut itu judul film India. Bleh. Ada astu orang yang kayaknya nggak pernah kalah, namanya Indah. Dia ketua TBM sih sebenarnya, tapi ya gitu deh, kadang-kadang bisa ditandingin dengan H.Bolot, Bajuri, Aming, dll. Ancur bener deh pokoknya.
Jam setengah lima bis nyampe di kampus. Anak-anak pada pulang ke rumah. Sebagian nongkrong di ruang TBM dulu, ngadem. Contohnya saya. Abis ngadem beberapa menit sambil main truf (lagi!) saya pulang ke asrama dengan badan yang kayak abis dipaksa ngangkat batu-batu segede orang. Capek bener. Kalo saya aja capek gini, gimana Jacky yah, padahal di masih harus jaga Obgin di RSCM. Salut bener deh buat dia.

Sunday, June 05, 2005

Mimpi-mimpi

Jakarta, 5 Juni 2005

Dua malam yang lalu saya mimpi. Kemarin malam juga. Dua-duanya mimpi yang aneh, tapi menyenangkan.

Dua malam yang lalu, saya mimpi ketemu sama seorang teman lama. Dia teman satu sekolah di SD dan SMP. Saya memanggilnya Diah. Saya terakhir ketemu Diah bulan Januari lalu setelah tak berjumpa sejak lulus SMP. Mimpi saya yang ada Diah di dalamnya tidak terlalu jelas. Yang bisa saya ingat cuma bahwa hatinya terluka dan saya ada di sana untuk menghiburnya. Dalam mimpi itu, saya ingat duduk di sampingnya sementara dia berbaring di pangkuan saya. Saya mengucapkan kata-kata yang menenangkan sambil membelai rambutnya yang panjang. Saya tidak yakin apa status saya dalam mimpi itu, tapi rasanya kami berpacaran.
Yang paling teringat dengan jelas dari mimpi itu adalah perasaan saat menghibur Diah sembari membelai rambutnya. Perasaan itu tidak saya kenali namun sangat menyenangkan. Perasaan ingin melindungi, menyayangi seseorang atau apapun itu, entahlah. Yang jelas saya ingin merasakannya di kehidupan nyata, bukan hanya dalam mimpi.

Mimpi saya kemarin malam tentang seorang teman kuliah. Saya memanggilnya Ka. Dalam mimpi itu, saya, Ka dan beberapa kawan lain sedang berjalan-jalan ke mal. Kami mengunjungi banyak tempat. Namun ada beberapa tempat yang ternyata sangat menjijikkan dan menjengkelkan sehingga kami pergi dari mal itu. Sekeluarnya kami dari mal itu, saya menyadari bahwa tinggal saya dan Ka yang masih bersama-sama. Yang lain entah pergi ke mana. Kami pun berjalan berdua dan saya merangkul bahu Ka. Ka tidak menunjukkan penolakan, malah seingat saya dia merasa senang. Saya berada di sisi kanan Ka, dan tiba-tiba saya mencium pipinya. Saya mencium Ka sementara dia masih dalam rangkulan saya.
Sama seperti mimpi sebelumnya, ada gelombang perasaan yang indah, muncul dan terus bertahan dalam memori hingga akhirnya saya terbangun. Bahkan hingga saat ini, saya masih bisa mengingat betapa perasaan itu menguncang batin.

Nampaknya alam bawah sadar saya benar-benar merindukan seorang kekasih hati.

Monday, May 30, 2005

Book of the month: Virus Akalbudi (Richard Brodie)

Saya baru selesai baca buku bagus yang judulnya Virus Akalbudi karangan Richard Brodie, salah satu pengembang MS Word. Isi sebenarnya tentang apa bagaimana informasi yang berseliweran dimana-mana, menyebar dan memepengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan ber-evolusi layaknya makhluk hidup. Dan dia menegaskan bahwa nggak semua informasi kita butuhkan demi kepentingan atau kebahagiaan kita; sebagian besar justru "membahayakan".

Saya beli buku itu karena di sampul belakangnya tertulis pertanyaan-pertanyaan yang selama ini cukup mengganggu namun jawabannya belum pernah saya dapat, seperti mengapa politikus buruk tetap dipilih orang, mengapa MTV dan McD (baca:kapitalisme n globalisasi) dianggap keren dan terus saja merajalela, dll. Bagus deh isinya, terutama bagi yang percaya kalo nggak ada TV atau internet = BT berat. Penasaran? Hehehe, silakan baca sendiri.

Thursday, May 19, 2005

Catatan mingguan seorang jomblo

Rabu, 11 Mei: datang ke pertandingan olahraganya anak FHUI sebagai tim medis. Kenalan dgn cewek imut n manis. Panitia. Pas lagi nonton bola, lihat cewek yang tadi juga nonton sama cowok. Mulai curiga. Sebelum pulang, lihat cowok yang tadi lagi meluk pinggang si cewek. Aduuuhh.....

Kamis, 12 Mei: kuliah. No comment

Jumat,13 Mei: kunjungan ke Posyandu. Ngisi KMS, nimbang adek balita dll. Yang agak gedean panik setengah mati kalo mo ditimbang, tapi yang masi 1 taunan kok malah tenang2 aja yah? Balik ke kampus jam 1. Rapat jam jam 4 sampe jam 6 sore. Capek berat. Tepar.

Sabtu, 14 Mei: datang lagi ke pertandingan. Gak ada kenalan baru. Kering....

Minggu, 15 Mei: datang lagi. Kali ini sampe malam, soalnya ada final dance competition, final basket n final bola. Final bola: biasa, anak Unpad juara. Final basket: Unpad lagi yang juara, tapi lumayan seru, lawannya anak UI jago sih. Final dance: HEHEHE, this is the moment of refreshment. Seggaarrr!

Senin, 16 Mei: Kuliah lagi, dari pagi ampe siang. lanjut praktikum. BT. Bolos kuliah sehabis absen. Hehehe...

Selasa, 17 Mei: idem.

Rabu, 18 Mei: idem juga.

Kamis, 19 Mei: pulang kampus jam setengah dua, soalnya nggak ada praktikum. Tiba di kamar, kenyang. Maen komputer dikit, turs tepar jam 4 dengan sukses diiringi lagu2 merdu dan kipas angin. Bangun2 jam 5, bengong mo ngapain. Mikirin nasib jadi jomblo. SEPIIIII!!!! Mo sms-an, nggak ada pacar. Mo jalan, nggak ada duit. Jadinya maen komputer lagi sampe maghrib.

Monday, May 02, 2005

Berita terbaru...

Latest news from me:

1. Instead of working in PPAB TBM-SMFKUI (what an abbreviation, eh? read the previous post), I was appointed to be the coordinator of TRC (read the prev. post, too). Another big responbility. Bigger than ever...
2. Riky Rapasyiwih, my classmate in SMUDAMA, now a cadet of Indonesian Air Force Academy, has been in Jakarta for medical check up in RS Pusat Angkatan Udara at Halim since mid April. And his girlfriend, my close friend since elementary, went from Surabaya to Jakarta a week ago to meet him. I spent much time with them, specially last week. I stayed 2 nights in the hospital to accompany them. Now she has gone back to Surabaya after two days delayed because no tickets were available.

Sunday, April 24, 2005

Seminggu terakhir ini...

Rapat umum anggota Tim Bantuan Medis FKUI selesai tanggal 17 minggu lalu n guess what?... Saya sudah jadi ANGTI alias anggota inti sekarang. YAAAYYYY!!!!! Setelah setahun berjuang, akhirnya jadi angti TBM juga. Seneng bangedh pake D.

Setelah RUA selesai n Ketua baru terpilih (Indah, FKUI 2002) dilanjutkan dengan staffing dalam dua minggu setelahnya. Saya milih PPAB ato TRC ato Humas.
Deskripsi:
1. PPAB: Panitia Penerimaan Anggota Baru. Kerjanya melatih calon anggota sebaik mungkin biar bisa jadi angti. Ini divisi paling sibuk (kerjanya setaun bow!), paling dikenal sama calon anggota, n paling disoroti sama angti lain kalo calon anggota/ anggota muda nggak beres.
2. TRC: Tim Reaksi Cepat. Urusannya tim medis kalo ada aksi/demo anak UI. Selain itu, kalo ada bencana, TRC yang dikirim pertamakali. Tantangannya, harus selalu siap dipanggil, kayak dokter kandungan kalo ada ibu yang mo melahirkan :-p
3. Humas: standar staf humas-lah...

Wednesday, April 13, 2005

It's been hell of a week

This week maybe my busiest week since I studied in college. The freakin' immune system exam will be held on Friday all day long from 7.00 am to 3.00 pm. Plus, TBM will have annual reorganisation meeting (Rapat Umum Anggota) from Friday to Sunday. It won't be that head-blowing if I weren't the Chief of Organizing Committee.

I just hope I can get through this week alive in one piece.

Wednesday, March 30, 2005

Subjektif? Objektif? Whatever...

Jakarta, 6 Maret 2005

Dunia kita terbuat dari apa sebenarnya? Warna langit di atas kita, laut di sisi daratan, bau tanah yang baru dihujani, angin menerpa kulit, dinginnya air di subuh hari; semuanya adalah sensasi yang digambarkan oleh sel-sel peraba dan perasa di seluruh organ kita. Persepsi atas apa yang kita pelajari, pahami dan alami. Segalanya subjektif; tidak ada sesuatu yang objektif di muka bumi, sebab apa yang dipahami orang sebagai objektivitas hanyalah subjektivitas beberapa orang secara sama dan bersama.

Aku memikirkan hal ini setelah melewatkan waktu sejam bersama seorang pengusaha. Orang itu bukan pengusaha berdasi, bukan eksekutif muda dari kompleks perkantoran di kawasan Sudirman, bukan pula pialang saham BEJ. Orang itu berasal dari Tegal. Orang itu pengusaha warung. Tepatnya, orang itu pemilik salah satu dari sekian ribu warteg yang tersebar di ibukota Jakarta. Aku berbincang dengannya pada suatu dini hari yang sepi ketika embun mulai mewujudkan diri di atas jalanan yang kosong.
Dia bercerita tentang banyak hal selama sejam itu sambil sesekali melayani pembeli yang datang mencari pengganjal perut di malam dingin (termasuk aku). Pada mulanya dia bercerita tentang anak-anaknya di kampung halaman dan rutinitas harian mereka. Tentang susahnya ia mengurus anak-anak yang selalu bertengkar dengan saudara-saudaranya. Tentang susahnya menghadapi ibu yang sudah pikun dan kembali bersikap seperti anak-anak. Tentang susahnya ibu bapaknya dulu mengurus dirinya dan saudara-saudaranya ketika ia masih kecil. Tentang hal ini dan hal itu. Dan hal-hal lain.
Yang membuatku berpikir lebih jauh adalah uraiannya tentang kebiasaan ngidam ibu-ibu hamil di kampungnya. Ngidamnya aneh-aneh, maunya makan yang aneh-aneh. Ada yang suka makan beras, makan sambel, makan mangga yang masih seujung kelingking, makan nasi pemberian tetangga (nasi buatan sendiri tidak suka), makan rebusan kepiting kecil, makan balsem (!) dan sebagainya. Ada juga yang samasekali tidak ngidam tapi suaminya yang jadi aneh, lemas dan berbaring saja seharian. Semua itu terjadi selama 3-4 bulan masa kehamilan. Setelah sang janin naik pangkat jadi bayi, segala hal kebiasaan ngidam itu hilang semua. Orang-orang percaya bahwa ngidam yang tidak dipenuhi akan membawa efek negatif pada anak tersebut hingga dewasa (kata orang anak tersebut bakal suka berliur tanpa sadar/ ileran). Karena itu sang pengusaha warteg menasehatiku agar tidak mengomeli (nanti kalau sudah punya) istri ketika ngidam sesuatu.

Aku belum pernah melihat orang yang ngidam. Ketika kutanya ibuku apakah beliau pernah ngidam sewaktu aku masih menggelantung di dalam perutnya, ternyata ibuku tidak ngidam apa-apa. Maka bagiku, konsep ngidam adalah suatu konsep tradisional yang dimiliki dan dipertahankan oleh masyarakat tertentu. Aku lebih senang mengartikan ngidam sebagai perubahan hormonal seorang ibu hamil yang entah bagaimana mempengaruhi persepsinya terhadap rasa dan keinginan. Bagi ibu yang sedang ngidam makan mangga sekecil kelingking, rasa mangga itu jauh lebih enak daripada semangkuk soto ayam, misalnya. Sementara bagi kita berlaku kebalikannya. Jadi, anggap saja sejauh ini perubahan hormon sang ibu hamil yang jadi biang keladi.
Lantas bagaimana dengan kasus suami yang menunjukkan tanda-tanda ngidam padahal istrinya berlaku biasa-biasa saja? Hal inilah yang mengandaskan penalaran sampai membuatku berpikir bahwa sesuatu yang objektif itu tidak ada karena segala pemahaman yang bersifat objektif sebenarnya terbangun dari adanya rasa atau penilaian tertentu yang timbul dari beberapa orang secara sama dan bersama (ingat, perasaan manusia itu subjektivitasnya tinggi).

Muara dari pemikiranku adalah suatu jenis pertanyaan seperti ini. Benarkah ini hidup kita sendiri yang kita jalani, bukan hidup yang digariskan orang lain atas diri kita? Sebab ternyata penilaian kita terhadap dunia sangat tergantung pada apa yang dikirim indera-indera kita ke pusat kesadaran melalui segenap urat saraf dan juga pada apa yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Orang lain bisa saja bermain dengan indera kita sehingga kita percaya saja mentah-mentah apa yang indera kita persepsikan. Mata, telinga, kulit, hidung, semuanya bisa ditipu. Mungkin kita bisa menghindar dari penipuan yang dilakukan terhadap indera-indera kita dengan mengandalkan rasio dan pengetahuan. Masalahnya, orang juga bisa bermain dengan pengetahuan yang kita yakini sebagai kebenaran melalui cuci otak yang terbukti ada sejak lama. Jika semua kekhawatiran di atas benar adanya (mudah-mudahan tidak), tidak ada lagi yang bisa kita percaya. Termasuk diri kita sendiri.

Aku ingat satu film yang judulnya The Truman Show (aktor: Jim Carrey). Dalam film itu diceritakan kehidupan seorang Truman yang ternyata hanyalah sebuah drama TV. Semua orang yang ada di dalam kehidupannya adalah aktor dan aktris. Termasuk orang yang Truman yakini sebagai ayahnya. Truman tidak pernah tahu bahwa seluruh hidupnya hanyalah sandiwara, bahwa sejak masih berupa janin dia sudah ditonton oleh orang sedunia. Bagi Truman, hidupnya adalah nyata. Bagi penonton, Truman adalah drama TV. Aku menjadi sangat ngeri ketika memikirkan bagaimana seandainya kita semua adalah Truman. Bagaimana jika ada orang yang membuat hidup kita sebagai drama TV yang ditonton 24 sehari, 7 hari seminggu sepanjang tahun. Bagaimana jika langit biru di atas kepala kita ternyata sebuah kubah raksasa seperti langit Truman?

A blast in my head about MODERN

Jakarta, 22 Februari 2005

Menurutmu apa itu modern? Gaya hidup, cara pandang, atau sekedar trend? Pencarian tanpa ujung atas hegemoni terhadap hidup? Atau ketika manusia dihitung sebagai makhluk yang seharusnya berlaku efisien, produktif dan kreatif? Dan jika seseorang tidak memiliki kualitas-kualitas itu maka dia tidak masuk dalam hitungan? Kalau begitu dosen antropologi tidak akan lagi menyebut anak cucunya sebagai manusia, melainkan sesuatu yang baru: Neo sapien. Baru dan berpikir. Baru berpikir. Berpikir tentang hal baru.

Atau mungkin modern adalah sesuatu yang eksistensinya ditentukan atas sesuatu yang “maya”, cyberspace? Dunia yang membuat orang bisa menjadi siapa saja dan melakukan apa saja? Ini gaya hidup. Internet banking; Friendster dan kawan-kawannya; blog (-gers); antivirus, firewall dan penangkal junk mail yang paling cerdas; advanced search pada mesin-mesin pencari; account e-mail gratis dengan kapasitas 100 megabyte; VoIP, live chat, messenger? Video streaming dari teman, keluarga atau bahkan dari kamera di jalan-jalan protokol demi menghindari macet?

Macet. Aku jadi ingat sesuatu. Barangkali kau penggemar barang-barang besar yang sesuai harganya seperti mobil. Apakah kau menilai mobil dengan sistem pengereman ABS dan EBD, sistem audio video dengan layar sentuh (touchscreen) dan CD changer di dasbor, plus capasitor bank di bagasi demi suara bass sedahsyat konser? Jangan lupa, kau juga perlu GPS terintegrasi agar tidak pernah lagi tersasar ke pasar kaget atau demonstrasi yang menutupi jalan raya. Jika malam tiba kau bisa menyetir mobil yang lampu depannya bisa melirik ke sana ke mari berkat adaptive lighting. Saat parkir di garasimu, sensor parkir di segala sisi mobil bisa memberitahumu sehingga garasi mahal berornamen kayu tidak kau libas begitu saja. Tentu saja kau tidak usah tanya lagi apa ada catalytic converter di pantat tungganganmu, sebab si penjual mobil sudah memasangnya tanpa diminta demi menghindarkanmu dari razia emisi.

Bukan itu? Bagaimana kalau barang-barang kecil? Convergent gadget? Ponsel plus camcorder plus sistem operasi setaraf desktop plus akses internet broadband plus pemutar MP3 40 MB plus koneksi WiFi plus agenda digital plus rumahmu dan kantormu dan home theater-mu sekalian. Lupakan PDA. Terlalu sedikit yang bisa ditawarkan. Lupakan laptop, atau notebook, atau tablet PC atau apapun namanya. Terlalu berat, rentan dijambret, tak tahan goncangan dan makan tempat. Ingat, ini saatnya efisiensi, kreativitas, ketahanan.

Kemarin aku melihat iklan di TV. By the way, TV, terutama TV dengan tabung CRT adalah teknologi dari 6 dekade yang lalu. Siap dimasukkan ke museum budaya manusia. Salah. Siap dimasukkan ke museum budaya Neo sapien. OK, back to what I saw on TV. Iklannya begini: Wanita, duduk di sofa di ruang tengahnya. Di dinding ada TV plasma widescreen, di meja kaca ada camcorder, ada ponsel, ada pemutar MP3. Si wanita kemudian bangkit dari sofanya dan dunianya melipat ke dalam sedikit demi sedikit. TV plasma, camcorder, pemutar MP3, sofa, dinding dan rumah menyusut. Si wanita melangkah sedikit dan dunianya telah masuk ke dalam sebuah ponsel. Dimasukkannya ponsel itu, “dunianya”, ke dalam saku dan ia melenggang pergi. Di akhir iklan ada lambang salah satu produsen barang elektronik terkemuka.

Pesan yang kutangkap dari iklan itu adalah bahwa sang produsen tidak mengiklankan sebuah ponsel terbaru seharga sistem komputer desktop lengkap. Yang ditawarkan adalah sebuah gaya hidup, persis seperti pertanyaan-pertanyaanku tadi. Simplification. Penyederhanaan dari rutinitas dan kebutuhan beragam jenis. Tak peduli kau bangun pagi di cottage di Nusa Dua lalu ikut makan siang bisnis di salah satu hotel di Ginza. Kau adalah kosmopolitan; ada dimana-mana dan melakukan semuanya secara simultan. Kau ameboid (seperti Amoeba). Membelah diri. Identik. Tapi kau bukan Amoeba ‘kan?

A monolog about SELF

Jakarta, 5 Februari 2005

Apa yang kau pikirkan tentang dirimu? Pernahkah engkau berpikir tentang dirimu dalam arti yang sebenarnya? Pikirkanlah.

Kau sudah lahir kira-kira pada masa internet diciptakan. Jadi, kau boleh menganggap dirimu sebagai kembaran dari suatu budaya. Suatu dunia maya yang benar-benar ada di alam semesta. Kalian, kau dan internet, adalah generasi 1985 yang persis seperti kembaran lainnya. Tumbuh, berkembang bersama. Semakin besar, semakin cerdas, semakin berpengaruh pada sekaligus dipengaruhi oleh lingkunganmu, bersama-sama.

Tunggu dulu. Apa yang membedakan dirimu dengan internet? Bahkan dua kembar identik juga punya perbedaan: mereka secara statistik demografi dihitung sebagai dua unit. Mungkin salah satu hal yang membedakanmu dari kembaranmu adalah bahwa dia sedemikian besarnya, sedemikian berpengaruhnya, sedemikian pentingnya bagi umat manusia sementara dirimu cuma menyumbang satu, satu saja dari 6 milyar lebih data statistika manusia hidup sekarang ini. Tapi, setidaknya kau tidak perlu listrik jutaan mega Watt, perangkat bergedung-gedung dan hibrida Homo sapien-keyboard-mouse untuk dianggap ada di Bumi. Kau cuma perlu sekumpulan sel yang cukup bodoh untuk membentuk kecerdasan kolektif yang bernama kesadaran diri.

Ya, kesadaran diri. Kau, makhluk dari ras Homo sapien yang mengklaim kecerdasan tertinggi di tata surya Matahari dan sembilan planetnya, yang ternyata tidak sendiri dalam hal kepemilikan kesadaran diri. Masih ada orang utan dan simpanse, para kerabatmu. Mengapa lantas kau harus mengerti tentang segala celoteh ini? Ini dia kukatakan kepadamu.

Sesekali, berpikirlah sambil becermin. Anggaplah kau sekeren idolamu. Wajah rupawan, kulit terawat, tubuh terbentuk padat bebas lemak. Anggaplah kau sepintar juara kelas di sekolah atau mahasiswa dengan IPK 4,00. Tapi tahukah kau, tubuhmu itu hanya kumpulan makhluk kecil yang terlalu kecil untuk matamu yang tajam cemerlang. Kau hanya kumpulan sel. Sel saja yang penting! Lihatlah badanmu. Rasakan otakmu di dalam batok kepalamu. Gerakkan sedikit dahimu. Akankah kau percaya jika ternyata kemampuanmu untuk menggerakkan dahi dan kemampuan lain termasuk kesadaran akan dirimu, hanya tercipta dari ketiadaan? Ya, benar. Ketiadaan, kekosongan. Itulah asal dari segenap pengetahuan manusia, tanpa kecuali. Apa yang kau tulis dalam lembar jawaban di sekolah, reaksimu ketika bola melayang cepat ke wajahmu, perasaan melayang pada kencan pertama, cita-citamu pada umur lima tahun, SEMUA tersimpan sebagai ingatan DI ANTARA sel-sel dalam otakmu. Apa yang ada di antara sel-sel otak? Tidak ada apa-apa disana!

Kau sudah mengerti makna di balik semua di atas itu? Belum? Baiklah. Ini jalan singkatnya. Kapanpun kau merasa “lebih” dari seseorang ataupun sesuatu, ingat saja kalau kau bukan apa-apa. Hal yang membuatmu merasa “lebih” hanya datang dari kekosongan. Demi Tuhan, secara harfiah kau memang bukan apa-apa!

Miris

Jakarta, 30 Maret 2005

Hari ini saya berbelanja di Carrefour MT. Haryono untuk persediaan jajanan dan perlengkapan pribadi bulan April. Sudah satu bulan lebih saya tidak ke Carrefour dan selama itu pula saya tidak melewati jalan setapak di sisi jalan MT. Haryono yang harus saya lalui jika hendak ke Carrefour.

Ada yang berubah sejak terakhir kali saya melewati jalan setapak itu. Saya tidak lagi mendapati pemukiman yang dulunya ada di dekat perempatan Cawang bawah jalan tol. Kini tempat itu berdiri tembok beton yang kokoh disertai pengumuman bahwa berdasarkan KUHP pasal entah berapa, tidak boleh membangun di tempat itu. Pemukiman kecil yang dulu ada di atas tanah tersebut kini tinggal puing-puing berserakan di balik tembok beton. Bekas-bekas jejak buldozer masih tercetak jelas di atas puing-puing dan di lapangan bola di di dekatnya. Ada dua orang ibu yang memunguti entah apa di balik tembok.

Terus terang saya sangat terkejut. Nurani saya teriris-iris sehingga napas saya agak tersengal ketika melewati jalan itu. Saya nyaris menangis. Dulu ada denyut kehidupan di sekitar perempatan tersebut. Ada kios kecil, ada perajin kompor minyak tanah, ada keluarga dan anak-anak kecil mereka. Sekarang itu semua tinggal kenangan dalam memori saya. Saya tidak berani membayangkan bagaimana kejadiannya saat mereka semua dibuldozer aparat. Saya juga tidak memiliki gambaran di mana mereka tinggal sekarang, atau bagaimana mereka mencari makan.

Orang yang sering melewati jalan Salemba Raya, jalan Diponegoro, dan jalan Matraman depan pasar Jatinegara pasti merasa jalanan tersebut agak lebih lengang akhri-akhir ini . Para pedagang kakilima, penjual makanan dan minuman yang biasanya mencari uang di pinggir jalan tersebut telah digantikan oleh bapak-bapak polisi pamong praja dilengkapi pentungan yang bersantai-santai di sekitar mobil dinasnya. Tampaknya pemerintah kota Jakarta lagi senang-senangnya melibas segala bentuk kemiskinan dan ketidakteraturan yang mengikutinya . Melibas, bukan meningkatkan taraf hidup orang-orang miskin. Kesimpulan ini saya ambil dari sikap pemerintah kota yang dampaknya terasa sangat jelas di sekitar daerah Cawang, Salemba, Diponegoro dan Jatinegara.

Ada teman saya yang merasa keadaan sekarang lebih baik dan lebih rapi. Saya malah jijik dengan keadaan sekarang. Saya tersiksa menghadapi kenyataan bahwa untuk sebuah “kerapian” dan “keteraturan” dan “kebijakan”, banyak rakyat kecil yang perlu dikorbankan. Jika memang orang-orang yang mengaku dirinya pemerintah tidak suka dengan orang miskin, sekalian saja buat pengumuman: “orang miskin dilarang berada di dalam batas kota Jakarta. Yang melanggar peraturan ini akan ditangkap polisi dan dideportasi keluar Jakarta pada hari itu juga.”

Ada juga teman saya menulis puisi tentang “kebijakan” baru pemerintah kota Jakarta. Judul puisinya Bajingan. Isinya jelas: dia mengutuk siapa saja yang terlibat dalam penindasan struktural yang semakin nyata terlihat beberapa minggu terakhir di Jakarta. Saya senang dengan puisinya.

Dan ketika saya hampir sampai di Carrefour MT. Haryono, sebuah bis Kopaja melintas dan di kaca belakangnya tertulis “BATAVIAKU”.
-----------------------------------------------------------------------------

A Scrap of My Life

Jakarta, 22 Maret 2005

Hari ini saya bangun jam empat pagi. Bukan karena rajin, tapi lebih karena tidak bisa melanjutkan tidur akibat belum salat Isya dan rasa gerah masih memakai baju dan celana kuliah lengkap. Selain itu saya merasa agak sakit, jadi saya putuskan bangun untuk gerak badan sedikit.

Setelah salat Isya, saya ambil jatah "pembentukan kebiasaan" hari ini: baca Qur’an 1 halaman plus push-up 30 kali (push-up dua kali ulangan, masing-masing 15 kali). Habis itu saya masih merasa cukup kuat untuk gerak badan, jadi saya peregangan badan dan pemanasan sedikit. Gerakan pelajaran Penjas saat masih SMU dulu masih saya ingat beberapa bagian. Saya juga sit-up 20 kali.

Saya lalu bingung memutuskan apakah saya akan melanjutkan menulis novel atau membaca diktat Fisiologi Jantung bahan ujian minggu depan. Saya lebih memilih membaca diktat karena nilai Fisiologi terakhir saya tidak mencapai batas lulus. Sehabis membaca diktat dan menandai bagian penting di dalamnya, saya tersadar kalau saya lapar. Lima menit kemudian saya sudah berada di warung makan tempat makan yang biasa, warteg Mas Da’im di dekat jembatan Polonia. Saya makan nasi setengah porsi, telur dadar dan sepotong tahu rebus. Minumannya air jeruk hangat segelas dan air putih segelas. Kenyang.

Setelah kembali ke kamar saya lagi-lagi berpikir untuk melanjutkan novel saya, tapi ternyata waktunya sudah tidak mencukupi untuk proses kreatif sekaligus pengetikan naskahnya. Makanya saya langsung melakukan ritual pagi: buang air besar, gosok gigi, mandi dan berpakaian lengkap siap berangkat ke kampus. Setelah itu semua beres, ternyata masih terlalu pagi untuk duduk di bis kampus (mahasiswa UI menyebutnya bikun alias bis kuning) sambil menunggu bis itu berangkat ke jalan Salemba Raya no.6 Maka untuk menghabiskan waktu, saya menyalakan komputer dan mengetik tulisan ini sambil mendengarkan musik dari komputer saya.

Sewaktu mandi tadi, saya berpikir seharusnya tiap pagi saya lalui seperti ini; bangun cepat, salat Subuh tepat waktu, masih sempat olahraga dan sarapan setelah membaca bahan kuliah. Ini adalah pagi yang baik, sebuah awal yang baik untuk hari ini. Semoga saja sisa hari ini berlangsung sama baiknya dengan awal hari. Betul-betul sebuah pagi yang sehat.
------------------------------------------------------------------------------

Sunday, March 20, 2005

Unleashing the Warrior Within: Prince of Persia, The Game

Game Prince of Persia Warrior Within keren abis!!! Evolusi dari game klasik zaman komputer berprosesor 100 MHz(?) dengan citra 2 dimensi dan 3 warna menjadi sebuah game 5 star rated dengan gameplay 4 dimensi (including Time. Play the game, and you will understand).

By the way, sebenarnya bukan saya yang namatin game itu. Adalah si Herwasto temen satu asrama yang asli freak game yang namatin game itu 2 kali dalam waktu 1 minggu (see? that's what I call freak). Saya cuma navigator, bantu2 nyari jalan n solving the killer puzzle.

If you see the Prince's combat style, you will wonder if anyone have that kind of agility and reflex. The only one I can compare to the Prince is Riddick. Those characters rock the Universe!!!!

(POP Warrior Within)

Thursday, March 10, 2005

Post-exam

Today I have respiratory system exam, and I totally screwed. In the last two minutes, I still have no answer for at least 15 questions, I ended up gambling. Never before i felt so insecure because of gambling my answers, although I had a big gambling one (once I could only answer 17 out of 100 question!)

I really need to do something with my learning habit.

Wednesday, March 09, 2005

YAHOO doesn't mean fun anymore

Since the last two days, I can't log on to my Yahoo-mail, while from the same computer, I can log on to somebody else's account. What's up Yahoo? Why can't I see my own e-mails?
Am I somekind of freakin' suspect of FBI/CIA/NSA/SAS/DEA/KGB/MOSSAD/BIN or what?

I AM REALLY PISSED NOW!!! Useless Yahoo-mail!

Tuesday, February 22, 2005

Regaining

I'm regaining. Regaining my spirit in the pursuit of knowledge. Regaining my motivation to stay in TBM. Ragaining my future look of me.

Baru selesai ujian hari pertama modul integrasi 3: Sikap, Gerak dan Kinerja alias sistem neuro-muskulo-skeletal. Pertamakalinya sejak dua tahun terakhir saya kehabisan waktu selesaikan soal ujian. Good thing. Biasanya saya sempat tidur 10-15 menit karna semua soal sudah saya jawab (baca:jawaban hasil tembakan dan ramalan dan desperate analysis of unknown answer).

Practically I didn't prepare myself for this module, since I depend my answers at the exam on fuzzy memories of boring lecture, scrapy notes, lousy discussion on the topic, and a not-so-little luck.
Well, I NEVER prepare myself though. I slept in classroom and discussion, I handed in hardly-prepared assignments. Sampai sekarang saya bisa bertahan di tingkat dua FKUI hanya dengan minimum effort. Just above the fail threshold.

BUT NOW, I'm at the gate of almighty time. Saya akan menjalani garis waktu ke masa lalu dan menemukan kembali Qushay yang saya tahu 5-6 tahun lalu. Seseorang yang berkualitas dan dapat diandalkan.