Saturday, November 05, 2016

On becoming a father

What does it mean to become a parent?
What does it mean to have a child; either biological or other?

I have been pondering these questions for a few years now. My first child, Alma, was born about 3 years ago and my second one, Qiyam, about a year ago. I am a biological parent to two lovely baby girls for some time now but I am still fighting to grasp the idea of becoming a father.

Few months before Alma was born, I actually Googled "how to become a father". As expected, I am not the only one feeling clueless while expecting their first one, which is why this particular blog that I have a been a fan of ever since, keeps growing it's readership number. And when Alma was born, I was on my way to the other hemisphere for a study opportunity that I have been offered a couple of years before. I only get to see my firstborn in person when she was almost 1 year old.

So, that leaves me back to square one when it comes to parenting, or fathering, to be exact. It was like having a one year old delivered to your lap and you have to figure out how you're going to support this person physically, psychologically, morally, socially, financially, ... and so on, for her entire life. No amount of blog walking neither a library of great parenting textbooks can prepare you for what's coming. It is the truest emotional (and sometimes physical) roller-coaster journey that you simply can't get off from. There's neither joy nor pain; it's both all the time, all the place.

I mean, you can find yourself feeling like a zombie at 3 a.m. from cradling for hours while trying to sleep when you little one's not feeling too well and your slightest move to rest one muscle fiber results in a haunting shriek from this... thing you're holding. Or when she is in her most radiant mood but she won't let you hug her for more than 2 seconds because she's too busy chasing something with her train of laughter.

So when my Alma tried a gown given by my mother this morning and she asked me to zip her up, a glimpse of her future life passed right before my eyes. Something struck a chord in my chest which almost condensate into a tear. Was it dread, fear, or joy in me thinking that she would ultimately be an adult and ask a person to zip her up? Is that person still going to be me, her mother, her husband perhaps, or...?

My wife refrain from such daydream because of this exact reason. She prefers to just live with our daughters in the now; taking all the joy and the pain, both literal and figurative, while raising them the best way she can. She had quit her job as a dentist in a respectable hospital since the final months of her first pregnancy until now.

I could not ask for more blessings in my life. Yet, ever since I become a father, there has been a realization in my mind that I am no longer living my life; that whatever I am doing as a father should be done to prepare for my family's life AFTER my death. This paradigm shift only started to occur when I become a father. I mean, never before I think about someone else's life in the event of me passing away.

I think, at least to me, this is the essence of becoming a parent: to prepare your offspring so that they're able to continue their life well when you're not around anymore. And that is the best but also the hardest job to have. Period.

Wednesday, May 04, 2016

Alumni SMUDAMA mimpi diwawancarai

Kamu alumni SMUDAMA ya? Angkatan berapa? Sekarang aktivitasnya apa?

Iya, saya SMUDAMA angkatan 5 (PENTAGEN). Sekarang saya jadi dosen di UNHAS.

Kalau kamu melihat ke belakang, apa peran terbesarnya SMUDAMA bagi kehidupanmu sekarang?

Wah, pertanyaan sulit. Banyak sekali perannya jadi bingung mau mulai dari mana. Yang jelas, kalau saya tidak masuk SMUDAMA, saya tidak bisa menjadi pengajar di UNHAS seperti sekarang.

Begitu ya. Apa memang sebanyak itu perannya?
Iya. Sebagai gambaran ya, kalau alumni SMUDAMA itu ngumpul, biasanya yang dibicarakan nostalgiaaa terus selama berjam-jam. Apalagi kalau alumni yang ngumpul itu yang angkatan atas.

Kayak angkatanmu?
Yap, hehehehe. Tidak jarang, kalau ada acara alumni SMUDAMA dan ada orang lain yang bukan alumni SMUDAMA ikut di situ, yang bukan alumni SMUDAMA bisa merasa tersisih karena pembicaraan selalu balik ke nostalgia.

Pengalaman pribadi?
Pengalaman pribadinya orang yang dia ceritakan sama saya.

Ooo…oke, oke. Jadi, kembali ke pertanyaan saya di atas. Kira-kira, nilai-nilai apa saja yang kamu dapat selama jadi siswa SMUDAMA, selama jadi alumni SMUDAMA, yang sangat berguna khususnya di bidang yang kamu geluti sekarang?

Mmm, yang jelas nilai persaudaraan. Saya dulu, … tuh nostalgia lagi kan…

Hehehe, ndak apa-apa, lanjutkan saja.

Setelah saya lulus SMUDAMA, saya ingin sekali kuliah di Bandung. Jadi, saya menghubungi alumni yang ada di Bandung. Saya merasa sangat diterima meskipun mereka itu senior 1-4 tahun di atas saya. Saya dijemput dari bandara, diinapkan di kontrakan mereka, diajak keliling kota, pokoknya saya sampai sekarang berhutang budi sama mereka.

Karena itu, ketika saya sudah kuliah juga, saya sangat gembira ketika ada alumni baru yang bertanya-tanya tentang tempat kuliah saya dan tips-tips lain. Akhirnya utang budi itu bisa saya balas, meskipun ke orang lain. Inilah rantai persaudaraan yang sangat terasa ketika jadi alumni.

Sekarang kan kamu dosen, dan pasti ada dong, alumni SMUDAMA yang jadi mahasiswa di tempatmu bekerja. Menurutmu, bagaimana hal itu mempengaruhi pekerjaanmu sebagai dosen?

Ini yang agak unik. Di satu sisi, seperti yang saya bilang di atas, rantai persaudaraan ini sangat memudahkan komunikasi. Di sisi lain, kelancaran komunikasi ini bisa saja dilihat oleh orang lain sebagai kolusi. Salah seorang mahasiswa saya yang kebetulan alumni SMUDAMA pernah dituduh teman-temannya mendapat bocoran soal ujian dari saya padahal tidak.

Beneer…?

Hahaha, tidaklah. Malah pernah ada mahasiswa saya yang sesama alumni saya berikan sanksi tegas atas pelanggaran. Waktu itu saya tidak tahu kalau dia alumni. Meskipun saya tahu juga tidak akan dikurangi sanksinya, justru bakal saya ingatkan kalau dia itu bisa mempermalukan nama SMUDAMA

Waah, kamu jangan galak-galak dong…

Mmm, saya juga tidak suka jadi dosen galak. Saya sukanya jadi dosen yang tegas.

Begitu ya. Ada contoh yang bisa kamu ceritakan selain nilai persaudaraan?

Jadi kan di SMUDAMA itu banyak tugas yang harus dilakukan, mulai dari tugas sekolah, tugas kegiatan ekskul, sampai kepentingan pribadi seperti mencuci baju, menyeterika, membersihkan kamar, dan semacamnya. Otomatis kan harus pintar-pintar membagi waktu. Pelajaran membagi waktu ternyata juga bermanfaat bagi saya ketika menjadi dosen karena tugas dosen tidak hanya mengajar; ada juga tugas kepanitiaan, pembimbingan mahasiswa, tugas mengajar di luar UNHAS, dan lain-lain.

Kamu mengajar di universitas lain juga?

Iya. Karena UNHAS punya beberapa universitas mitra, maka tidak jarang saya ditugaskan mengajar ke Ambon, Kendari, Kupang, dan kota-kota lain.

Sibuk sekali ya?

Sebenarnya mau dibilang sibuk tidak juga, tapi dibilang santai juga tidak. Tergantung cara mengatur waktu dan memilah-milah tugas saja.

Oke. Sekarang saya mau bertanya hal yang agak sensitif nih. Menurut kamu, hal apa yang masih bisa dibenahi dari SMUDAMA atau dari alumninya?

Saya tidak banyak tahu informasi SMUDAMA yang terkini. Tapi sepengetahuan saya, kondisi guru-guru SMUDAMA masih sangat perlu ditingkatkan. Jadi fokus perbaikan sebaiknya tidak hanya ke kondisi siswa saja. Saya pernah singgah di SMUDAMA dan mengunjungi beberapa guru di rumahnya. Di kompleks rumah guru itu, beberapa unit kondisinya sangat memprihatinkan. Hal ini selayaknya ditangani sesegera mungkin. Perlu saya tambahkan bahwa bagi guru-guru SMUDAMA, regenerasi, penyegaran ilmu dan kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi sama sekali tidak boleh dilupakan.

Kalau tentang alumni, saya juga pernah diingatkan oleh sesama alumni bahwa karya nyata alumni perlu lebih diperbanyak, misalnya dalam bentuk buku. Memang alumni rutin mengadakan bakti sosial di bidang kesehatan tetapi alumni kan tersebar di berbagai bidang. Jadi ide membuat buku itu perlu diwujudkan secepatnya.

Oke, mudah-mudahan usul-usul kamu bisa segera dilaksanakan. Karena keterbatasan waktu dan ruang, diskusinya kita cukupkan sampai di sini dulu ya. Terima kasih atas waktunya.

Sama-sama.