Sunday, October 28, 2007

Cerita 100 kata (2)

“Makasih ya, yang tadi enak banget. Aku belum pernah nyoba yang itu.”
“Masak sih?”
“Bener, nggak percaya?”
“Percaya kok, Mas....”
Dan dia pun tersenyum. Jenis senyum yang meluluhkan semua kegilaan dunia dalam sebentuk bibir.
“Besok kesini lagi nggak?”
“Besok, dan besoknya lagi, sampai,…”
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu mau aku bawa pergi dari sini.”
Dan dia pun tertawa, menertawakan kenaifanku.
* * *
“Profesor? ” Sejak kapan kekasihku memanggilku “profesor”?
“Profesor Gantar?” Ternyata Asta, tangan kananku. Barusan aku teringat dia lagi.
“Maaf Profesor, ada alasan khusus mengapa selalu makan siang di warteg ini yang jauh begini dari rumah sakit Anda, Profesor?”

Saturday, September 22, 2007

Tired.

My soul has been wandering so far only to reach square one.
I asked me what's been achieved, there's only one big shiny "?" hanging above my nose.
Just like Radiohead's Creep," ... what the hell am I doing here; I don't belong here...."
It feels like slowly digested inside some beast's bowel; a mind-numbing pain

I swing from one day to another,
like taking the steep, uphill route of a mountain
Only think 2 steps ahead, never more
Just to maintain sanity in the thickened air

Will there be a heavenly summit?

Friday, September 14, 2007

Jadi dokter di Tangerang

Tiga minggu lalu saya ke Tangerang untuk menjalani stase bag. Anak di RSU Tangerang selama 1 minggu. Awalnya saya sangat tertekan mengingat cerita-cerita dari para senior yang sudah melewati stase ini. Yang menakutkan saya adalah cerita mengenai tingginya tingkat kematian anak di RS itu. Saya takut ada anak yang meninggal karena kelalaian & kebodohan saya.
Tapi, mau tak mau stase disana harus dilalui. Maka berangkatlah saya pada Minggu malam sebab Senin pagi stase dimulai.
Saya tiba di RSU Tangerang sekitar jam 9 malam & langsung menuju rumah koas FKUI. Rumahnya cukup besar. Ada 1 ruang tamu, 1 ruang TV, 8 kamar tidur (untuk koas Anak 3 kamar, koas Interna 2 kamar, koas Bedah 2 kamar, koas Obgyn tidak dapat kamar karena belum stase Tangerang), 1 kamar makan, 1 dapur, 5 kamar mandi & 1 tempat mencuci. Di sebelah kanan rumah ko-as FKUI ada rumah koas FKGUI dengan 4 kamar tidur, 3 kamar mandi, 1 ruang bersama, & 1 dapur (detail rumah koas FKGUI saya lihat waktu bertandang ke rumah tetangga kami itu :D)

Hari Senin pagi stase dimulai. Kami, koas Anak ber-12 menuju bangsal perawatan Anak, Anyelir & Kemuning (6 ke Anyelir, 6 ke Kemuning). Saya ke Kemuning (bangsal kelas III). Di sana saya bertugas mengawasi 5 pasien. Tugasnya mencakup mengikuti perkembangan pasien tiap hari, termasuk pengobatan & edukasi ke orangtuanya (istilah kampungnya "follow up"). Jadi, tiap jam setengah 7 pagi selama seminggu saya follow up ke bangsal Kemuning, lalu mencatat hasil follow-up di status pasien, dan menunggu dokter calon spesialis (residen) Anak datang dan membenarkan follow-up kami, koas-koas lucu (baca: lugu nan cupu). Bagi saya, bagian inilah yang paling menyenangkan karena koas boleh menentukan segala tindakan sesuai yang dia tuliskan di status. Jika koas lucu itu agak pintar, residen akan menyetujui semua langkah penatalaksanaan yang dia tuliskan. Jika tidak, alamat status itu berubah jadi mirip buku anak kecil yang baru belajar menulis; penuh coretan! Kenapa saya bilang menyenangkan? Karena di sinilah kesempatan untuk benar-benar menjadi dokter terkabulkan. Kalaupun ada kesalahan memberi obat misalnya, residen Anak yang pintar-pintar itu akan mengoreksi sebelum kesalahan itu dilakukan pada pasien. So, we can learn from every mistakes we did everyday without any worries.

Menjelang siang, ke-12 koas berkumpul bersama 1 spesialis Anak untuk berdiskusi. Spesialis Anak yang bertugas saat itu namanya dr. Khumaedi, Sp. A. Beliau baik sekali dan mau membagi ilmu-ilmu praktisnya dengan gratis, beda dengan Sp.A di RSCM yang selalu bilang, "Kamu baca lagi ya Dek!" Diskusinya berkaitan dengan kasus yang kami follow-up tiap hari. Diskusi ini berakhir pada jam makan siang jadi kami langsung ke rumah koas begitu selesai.
Seharusnya setelah makan siang & salat, kami kembali lagi ke bangsal. Namun karena sebagian besar kami-kami ini (sudah bodoh) malas (pula), maka yang kembali ke bangsal biasanya hanya yang bertugas jaga mulai sore itu sampai keesokan subuhnya. Yang tidak jaga: HURA-HURA!!! Mau makan lagi kek, mau tidur kek, mau jalan-jalan ke mal-mal Tangerang kek (seperti saya), terserah....

Tentunya yang jaga tidak bisa semerdeka yang lain. Tugas selama jaga: menerima pasien baru (kalau ada) dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, bikin diagnosis kerja+perencanaan, lalu lapor ke residen lewat telepon tentang diagnosis kerja & rencana yang dibuat. Kalau tidak ada pasien, bercengkrama dengan perawat, terutama perawat cewek yang masih muda & manis. Kalau ada pasien yang perlu "perhatian khusus" seperti infusnya macetlah, infusnya habislah, infusnya lepaslah, infusnya terminumlah (eh, yang ini nggak...) dll, kami beri perhatian khusus. Kalau ada yang sekarat, kami lakukan prosedur buat pasien sekarat. Kalau ada yang mati, kami lakukan prosedur pasien sekarat sekedarnya agar keluarganya merasa ada usaha terakhir untuk menyelamatkan nyawa yang sebenarnya sudah tidak terselamatkan, lalu kami doakan & kami kuatkan hati keluarganya. Yah, begitulah. (Kebetulan waktu saya jaga ada 1 yang meninggal, dan itu yang saya lakukan.)

Dari Senin sampai Sabtu seperti itulah gambaran kehidupan koas Anak yang sedang stase di RSU. Tangerang. Sebagian kembali ke Jakarta Sabtu siang, kecuali yang jaga Sabtu malam & Minggu pagi. Saya pulang ke Jakarta dengan berat hati karena selesai sudahlah 1 minggu paling menyenangkan selama 4 tahun lebih saya jadi anak FKUI. Stase Tangerang menyenangkan karena:
1. Bisa mengaplikasikan ilmu (yang cuma seujung kuku) langsung ke pasien
2. Kasus-kasus yang ada merupakan gambaran nyata kasus yang akan sering ditemui nanti di lapangan.
3. Makanan terjamin (bisa makan 4-5 kali sehari, gratis pula! --> sangat cocok untuk anak kos seperti saya)
4. Ada tetangga anak FKG yang manis-manis.
5. Tiap sore bisa jalan-jalan kalau tidak jaga.
6. Presentasi kasus harian boleh dibuat tanpa tinjauan pustaka yang panjang & mengesalkan itu.
7. Taman RSU. Tangerang bagus & asri, tidak seperti RSCM yang gersang nan padat
8. Bisa bergaul lebih dekat dengan teman-teman koas Interna, Bedah & Obgyn yang sama-sama stase di Tangerang (bergaul lebih dekat = kesempatan bertandang ke kamar teman-teman & melihat mereka dalam piyama masing-masing tanpa ditampar!!! --> tidak berlaku untuk teman yang berjilbab kecuali mereka sedang alpa....)

Begitulah....

Tuesday, August 07, 2007

Dealing with my mom's notebook

Dealing with my mom's Acer Travelmate 290E (bought c.a 2000-2001) is never easy. Massively infected with malwares, I re-formatted it. My stupidest move is I didn't have it's drivers, so I need to dig it from acer's site after re-formatting, which is not really hard to find BUT quite frustrating to download to needed files due to lack of bandwith at Makassar's net-cafe.

And it's not just that. There are many drivers provided at acer's site but I only desperatedly need the graphic driver. After an hour of downloading the driver, it said something about server error bla....bla...bla which means I CAN'T use the driver. F**K!!! Without that driver, I can't see whatever Windows Media Player 10 showing in that notebook.

Luckily the I've got the audio driver before, so after I get this video driver (hopefully) there won't be any problems anymore. *deep sigh*

Tuesday, July 31, 2007

Kata yang lahir dari hati yang sedang bergolak biasanya lebih lekat dan lebih menyala. Tidak demikian dengan kata yang diperas dari mengkalnya ide. Kata-kata jenis ini lebih cenderung hambar, lemah dan bahkan dibenci oleh sang penulis sekalipun.

Tapi jangan salah, bahkan sang Chairil Anwar pun pernah melahirkan puisi "mengkal", yang dibencinya pula. Perasaannya ini disampaikan dalam salah satu surat kepada H.B Jassin. Tetap saja, karena Chairil Anwar yang tulis, maka semengkal-mengkalnya puisi itu, abadi ia dalam sastra.

INI juga adalah kumpulan kata mengkal yang diperas dalam bilik temaram warnet di Makassar. INI adalah hasil dari hati yang sekarat saking hambarnya rasa di lubuknya.

Tidak untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa, hanya demi mempertahankan kewarasan dari kebosanan yang beracun dan sakit kepala akibat tidur 15 jam sehari.

Tuesday, July 03, 2007

Sekarang minggu ketiga, tepatnya hari Rabu. Sudah setengah jalan di bagian terakhir. Tinggal dua setengah minggu lagi sebelum tingkat 4 selesai.

Rasanya aku sudah jauh berjalan. Berjalan saja tanpa membawa pulang apa-apa. Kawan-kawanku pulang degan kepala tegak dan dada terbusung. Mereka sarjana. Mereka bekerja. Mereka merdeka.

Aku?

Masih di sini saja. Terjebak dalam rutinitas bis kuning jam setengah tujuh dan angkutan kota jam tiga sore. Tak ada apa-apa di antaranya.

Aku lelah. Aku ingin pulang. Padamu.

Tapi maukah kau menerimaku? Dua tahun lagi, katamu. Dua tahun lagi? Sanggupkah aku? Rasanya dua minggu lagi aku sekarat. Nyawa di ujung tebing. Waras di pinggir tubir.

Aku lelah dihela ke sana ke sini. Aku ingin berbaring. Baring saja bersamamu dan bercakap-cakap. Kita tidak begitu sering bercakap-cakap bukan? Betapa aku ingin bercerita padamu. Menularimu dengan jutaan kata dalam kepalaku yang bersipongang tiap saat. Lebih gaduh daripada sarang lebah yang sibuk meski diriku yang kau lihat dari luar hanyalah pohon berayun dihujani angin.

Jakarta, 20 Juni 2007

Saturday, May 26, 2007

Catatan liburan 4 hari (part2)

Makan siang hari pertama di rumah, makan malamnya diajak ibu ke resto sukiyaki yang katanya enak (tapi mahal). Baru kali ini rasanya saya agak kampungan, soalnya seumur hidup nggak tau sukiyaki itu makanan kayak apa, apalagi tau rasanya kayak gimana. Intinya, sukiyaki itu makanan enak tapi mahal yang nggak mungkin saya beli pake uang sendiri selama stauts masih mahasiswa :D

Day 2: 18-5-2007
Hari ini Jumat, jadi nggak banyak waktu buat jalan2. Tapi berhubung saya bilang ke ibu kalo saya perlu baju kuliah lagi, maka ibu ngajak saya sama adek jalan2 ke dept. store khusus pakean dekat Lapangan Karebosi yang namanya Sejahtera. Bapak nggak ikut, tapi nitip juga minta dibelikan baju. Kata ibu, nggak apa-apa nggak ikut, yang penting duitnya ikut :D.
Di dept. store itu, saya milih 2 baju kuliah yang lumayan elegan tapi nyantai. Begitu mo pulang, ibu nanya, "Ada lagi?" Trus saya bilang, " Celana kuliah satu, kalo boleh." Ternyata boleh, jadi saya pun milih celana yang enak. Sayangnya harganya juga "enak", kalo dihitung2 bisa buat beli 3 baju lagi. Tapi yang namanya ibu sayang anak kali yah, ibu saya nggak komplain apa2. I love you Mom!
Sorenya saya janjian mo jalan2 sama teman2 sekelas saat SMU yang lumayan akrab. Ada satu orang yang gak mo datang kalo nggak djemput, namanya Isma. Ya sudah, tadinya saya niat nggak bawa mobil, jadinya terpaksa bawa mobil buat jemput dia di lokasi yang jaraknya 7 kali jarak rumah saya ke tempat janjian. Tapi saya memang mo cerita2 sama dia secara pribadi, jadi saya pikir nggak apalah, toh di jalan bisa cerita2 lebih lama sama dia.
Selain Isma, ada Tanti dan Zam2 yang datang. Kami berempat pun ngobrol di food court mal tempat janjian. Nggak lama ngobrol, tau2 nongol Alif, teman SD-SMU yang sudah kayak saudara kandung saya sama. Dia datang dengan Nia, adik kelas kami yang juga mantan pacarnya Alif. (nggak taulah, itu urusan Alif :D). Hebohlah kami semua, soalnya saya nggak nyangka bakal ketemu Alif di situ. (Kalau saya pulang ke Makasar, saya selalu hubungi Alif untuk jalan2, tapi waktu itu saya gagal terus hubungi dia, saya pikir dia lagi di luar kota atau semacamnya). Sampai malam kami berenam bercengkrama di food court itu. Kami janjian lagi untuk jalan2 ke pantai keesokan sorenya, tapi yang mau ikut cuma saya, Alif. Zam2 dan Tanti. Akhirnya kami semua pulang. Saya mengantar Zam2 dan Tanti, Alif mengantar Isma dan Nia, soalnya kami searah. Kebetulan Zam2 dan Tanti mau minjam novel saya, jadi saya bawa dulu mereka ke rumah saya, makan malam di situ, lalu saya antar pulang ke rumah Zam2 (Tanti tinggal bersama Zam2).

Monday, May 21, 2007

Catatan liburan 4 hari (17-20 Mei 2007)

Part 1: Day 1, 17 Mei 2007
Nggak tidur semalaman, soalnya pesawat take off jam 6.30, berarti harus tiba di bandara jam 4.30, berarti harus berangkat dari asrama jam 3.30 dinihari. Akhirnya begadang dengan main game.
Jam 4 tiba di bandara, bandaranya belum buka, soalnya kru airline juga baru berdatangan. Akhirnya baru cek in jam 4.30. Nunggu di gate C4 sampe jam 6.30. Duduk di seat 7E, seat tengah yang tak saya suka. Untungnya tidak kejadian lain yang lebih mengesalkan. Apalagi mas2 yang duduk di 17F bawa laptop lenovo dengan OS LINUX SuSe yang keren nan canggih. Di akhir penerbangan dia mutar triller film2 keren. Orang itu keren juga gayanya: bawa2 laptop = melek komputer, apalagi OSnya LINUX. Outfitnya juga lumayan: longsleeve ijo tua, celana panjang hitam, sepatu kets gak tau merk apa tapi oke. Pokoknya kesan anak muda ubersexual terpancar kuat dari dia (gak tau ubersexual apaan? Googling aja :D) .
Dijemput bapak n adekku tercinta. Tiba di rumah jam 11.30 setelah singgah di penjual anggrek (ini hobi bapak), singgah ditilang polisi (ini khilaf bapak yang salah belok) n singgah di RS Bersalin Muhammadiyah 3 (ini tempat kerja bapak). Nyampe rumah, ketemu ibuku tercinta, trus makan. Ini yang paling kusenangi saat pulang ke rumah: menikmati masakan khas jl. Kakatua no. 29, Makasar.

Wednesday, March 28, 2007

Cerita tentang gumpalan benang (1)

- Hidup itu apa sih?
+ Bagi saya, hidup itu gumpalan bola benang raksasa sebesar bumi, dan setiap kita adalah serat yang menyusun selembar benang.
- Apakah semua manusia terhubung satu sama lain?
+ Tentu saja, setiap serat dalam gumpalan itu tentu terhubung satu sama lain. Namun tentu saja tak semua serat itu terhubung secara langsung dengan yang lain. Tetap saja, setiap serat dalam bola benang raksasa itu terhubung.
- Menurutmu, apakah saya sudah terhubung dengan jodoh saya?
+ Ajukan pertanyaan yang tepat dan jangan tanyakan yang sudah kau tahu
- Apakah sekarang saya sudah mengenal jodoh saya?
+ Ajukan pertanyaan yang tepat, atau kutendang kau dari sini!
- Oke, oke. Kamu itu siapa sih?
+ Saya adalah bola benang, saya adalah serat. Saya adalah semua yang kau tahu. Dan saya adalah kamu.

Tuesday, February 13, 2007

Jaga IGD Bedah pertama

Jakarta, 13 Februari 2007

Pengalaman jaga di IGD bagian bedah pertamakali pasti berkesan buat semua yang pernah melakukannya. Begitu juga saya. Jaga bedah pertama saya, meskipun sangat melelahkan akibat pasien yang terus menerus masuk membanjir, sangat berkesan.

Yang paling berkesan, tentunya, adalah pengalaman pertama masuk kamar operasi yang biasa disingkat OK. Waktu itu, ada satu dokter calon spesialis (disebut juga residen) yang perlu bantuan di OK. Dia minta bantuan ke ko-as pria. Maka ikutlah saya ke OK dengan residen junior itu. Sebenarnya saya tak tahu apa-apa tentang prosedur apapun di ruang bedah, bahkan lokasi baju bedah yang bersih pun saya tak tahu. Tapi saya ikut saja dengan residen itu, yakin bahwa dia akan mengajari saya apapun yang diperlukan. Keyakinan yang timbul dari perasaan bahwa dalam pengertian tertentu, sesama junior (saya koas junior, dia residen junior) akan saling “menjaga”. Tapi, yang bikin saya seyakin itu ikut ke OK adalah karena dia residen bedah perempuan yang paling imut dan manis yang pernah saya temui. Dan saya senang sekali berada di sekitar perempuan yang menawan.

Begitulah, saya berganti pakaian di ruang ganti pakaian dan masuk ke OK. Ada beberapa kamar operasi di sana, masing-masing dengan peralatan lengkap. Selain kasus yang akan saya bantu, ada satu operasi lain sedang berjalan. Mesin entah apa itu yang berbunyi konstan tiap detik bergaung ke seluruh ruangan membawa semacam perasaan menenangkan bahwa masih ada kehidupan di sana. Tanpa bunyi itu, aura OK sungguh steril, bersih, tak bernyawa.

Tak lama kemudian, pasien yang akan ditangani tim kami sudah siap di salah satu OK. Residen cantik yang tadi mengecek persiapan terakhir. Saya setia mengikuti di belakangnya, tak peduli akan kesan betapa tak berpengalamannya saya. Kami berdua pun memakai masker dan topi bedah. Sepanjang yang saya amati, di seluruh ruangan itu, tinggal kami berdua yan belum memakai topi dan masker. Setelah itu, kami pun mulai bekerja.

Kasusnya ternyata bukan bedah sungguhan. Anak umur 4 tahun yang luka robek di lengan sepanjang setengah meter dan luka robek di kepalanya itu “cuma” perlu dijahit. Penjahitan sebenarnya bisa dilakukan di ruang IGD di lantai 1. Namun kondisi super-heboh dan super-ramai di lantai 1dan pasien anak yang tak mengerti apa-apa selain rasa sakitnya, tak mungkin merawat luka itu dengan mudah.

Ada 3 residen termasuk residen cantik itu, 2 perawat dan 1 koas (yaitu saya) yang menangani anak itu. Sebelum residen pria yang lebih senior mulai bekerja, anak itu tertidur dengan tenang seolah tak ada daging menjuntai yang sangat lebar di lengan kanannya. Saya memandangi wajah polos anak itu selagi dia tertidur sementara di latar belakang bunyi konstan dari mesin di ruang sebelah seperti meyakinkan bahwa anak ini masih hidup dalam mimpinya yang damai. Entah kenapa, rasa damai itu juga menular ke dalam saya, setidaknya sampai residen pria yang lebih senior memasukkan obat penenang lewat anus anak itu.

Perawat menyiapkan alat steril. Residen operator memulai prosedur penjahitan. Residen senior yang memandu residen operator sambil memegangi lengan kiri anak itu. Residen junior memegangi kepala anak itu dan saya menahan kaki. Kami bekerja tanpa banyak bercakap namun tiap kali keadaan menjadi terlalu tenang, ada saja seseorang mulai berkomentar. Saya mencoba ikut sewajarnya dalam setiap percakapan namun tak kuasa mengalihkan pandangan dari satu-satunya wanita di ruang itu: sang residen junior.

Suatu ketika, residen senior membuka percakapan dengan residen junior. Saya diam saja, dan lebih diam ketika tahu dari percakapan itu bahwa wanita cantik di depan saya ini, yang semakin menawan di balik maskernya dan kalung berinisial A di lehernya, sudah menikah dengan seorang spesialis saraf dan punya satu anak. God! I was staring to a beautiful yet married woman. Tapi, saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa menyukai dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan dalam wujud seorang wanita. Still of course, I was wishing that I were the lucky neurologist.

Aku sakit

Jakarta, 28 Januari 2007

Aku sakit. Tidak tampak dari luar, tapi kurasakan di dalam. Aku adalah contoh nyata keganjilan alam. Aku berpikir terlalu banyak, terlalu sering, tentang terlalu banyak hal yang sama sekali tidak penting, setidaknya tidak penting bagi kelangsungan hidupku sebagai mahasiswa kedokteran tingkat IV. Aku bisa berpikir tentang seseorang yang melintasiku saat menyeberang selama belasan menit sebelum aku bisa mengalihkan pikiran ke hal lain. Aku berpikir tentang hal-hal selagi di kamar mandi. Sejujurnya, aku paling sering memikirkan hal-hal tak penting itu ketika sedang mencuci pakaian atau mandi pagi, atau selagi buang air besar. Selain kamar mandi, tentu saja angkutan umum atau pasar swalayan. Bising di kepalaku seperti bantal kapuk yang robek akibat perang bantal dan bertebaran isinya. Memenuhi semua tempat. Hanya ada dua yang bisa meredamnya: tidur atau menulis (sebenarnya bukan menulis betulan; hanya bermain dengan pena atau papan tuts komputer). Tentu saja jauh lebih sering dan lebih gampang yang pertama daripada yang kedua. Gara-gara bising internal itulah aku sering sulit mengungkapkan sesuatu dengan gamblang dan jelas. Dan itu semakin menyiksa ketika keadaan mengharuskan tidak tidur atau menulis.

Semakin lama kurasa aku semakin sakit. Dan obatnya tak kunjung muncul.

Saturday, January 06, 2007

I think I'm an Indigo

I've just read a book by Lee Carroll and Jan Tober titled "The Indigo Children". My conclusion when I finished the book is that I have some of the attributes regarded to those called Indigo.
That book forced me back to my not-so-happy-childhood which I thought I've forgotten....