Friday, June 06, 2008

Tight Money Policy

Harga BBM yang naik menyusul harga bahan makanan yang sudah naik sebelumnya bikin mahasiswa rantau seperti saya harus mengatur ulang rencana anggaran bulanan biar di akhir bulan tidak tiba-tiba “rajin” puasa Senin-Kamis atau puasa Daud.

Syukurnya orangtua saya bisa termasuk berkecukupan sehingga selama ini bisa mengirimi uang saku bulanan lebih dari yang saya butuhkan untuk hidup di perantauan sehingga saya bisa agak leluasa menaikkan rencana anggaran bulanan.

Setelah dihitung-hitung, agar orangtua tidak terlalu terbebani, saya harus bisa menghabiskan maksimal Rp. 20 ribu perhari untuk ongkos makan dan transpor. Jadi pilihannya antara bangun pagi dan buru-buru mandi untuk mengejar bis kuning UI (gratis tentunya) yang mengantar ke kampus jam 6.30 pagi ATAU berleha-leha dan terancam tidak makan malam karena ketinggalan bis kuning dan harus naik angkot ke kampus yang menghabiskan Rp.4500 dari jatah Rp.20 ribu yang seharusnya bisa dicadangkan untuk makan malam. Pilihan yang berat bagi seorang mahasiswa, Kawan....

Begitulah, jika saya saja yang tidak miskin dihadapkan pada pilihan-pilihan yang makin sulit, maka tidak terbayang kepusingan +80% rakyat Indonesia yang masih hidup jauh di bawah standar kelayakan menghadapi inflasi yang pada hakikatnya adalah pemiskinan yang sistematis.

Kadang saya bermimpi pemerintah Indonesia punya nyali sebesar gunung dan menasionalisasi Exxon, Freeport dan perusahaan pencuri lainnya. Atau memancung semua koruptor dari kantor desa sampai gedung DPR. Atau menyediakan tanah untuk taman kota atau fasilitas umum lain alih-alih membangun mal di kota-kota besar yang semakin menjijikkan. Apa daya, mimpi saya sebatas mimpi. Saya harus bangun dan mengejar bis kuning jam 6.30....