Tuesday, October 14, 2008

Makassar: My culinary tradition

Saya perantau. Saya tinggal di Jakarta dalam 5 tahun terakhir dalam rangka kuliah (dan hal-hal lain yang lebih menyenangkan, tentu :D). Maka saya "terpaksa" menjadi bagian dari sebuah tradisi Indonesia yang dalam sudut pandang tertentu agak irasional: mudik.

Saat mudik, ibu saya selalu bertanya, "Hari ini kamu mau makan apa, Nak?" Ibu saya bukannya jago masak, malah jarang terjun langsung ke dapur. Yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah makanan khas Makassar apa yang belum saya makan selama mudik kali itu. Apa sajakah itu? Mari kita telaah satu persatu.

Coto Makassar
Ini makanan khas utama, isinya seperti soto dengan kombinasi jeroan sapi yang dimakan bersama ketupat. Di Makassar, ada sangat banyak tempat yang menjual coto, tapi tradisi kuliner saya, Coto Gagak, berada di persimpangan Jl. Gagak-Jl. Kakatua. Saya cukup beruntung karena rumah saya di Jl. Kakatua jadi cukup dekat dari penjual coto itu. Ada juga Coto Sunggu, di kota Sungguminasa, kota tetangga Makassar, yang pasti selalu saya singgahi setelah ziarah ke kuburan kakek di Sungguminasa.

Bakso/Nyuknyang
Di Makassar juga banyak tempat yang menyediakan bakso yang enak. Yang paling terkenal Kios Ati Raja di Jl. Gn. Merapi. Ini juga tidak terlalu jauh dari rumah saya, cukup dengan 10 menit naik angkot disambung naik becak 5 menit (jalan kaki juga bisa, tapi pas pulangnya pasti lapar lagi :D).

Lumpia
Otak saya (dan banyak penduduk kota Makasar) selalu mengasosiasikan kata "lumpia" dan kata "Sulawesi". Lumpia buatan Lumpia Sulawesi di Jl. Lasinrang bagi saya paling enak karena renyahnya dan sambelnya yang khas. Di Jl. Lasinrang yang pendek dan sempit berjajar banyak toko yang menjadi "tradisi" yang sudah dikenal penduduk Makasar bertahun-tahun; selain Lumpia Sulawesi, ada toko mainan Sanrio, toko pernak-pernik remaja wanita CityOne, dll.

Es Pisang Ijo
Es pisang ijo yang menjadi tradisi kuliner saya bersumber dari sebuah restoran di Jl. Andalas, dekat Masjid Raya Makassar, namanya Warung Bravo. Waktu saya kecil, kami sekeluarga kadang makan bersama restoran ini dan menu favorit saya nasi campur. Saus campuran pisang ijo berupa kuah putih kental yang manis, sirup pisang ambon berwarna merah, dan kadang-kadang susu kental manis putih. Banyak yang mengatakan es pisang ijo bukan es pisang ijo tanpa sirup merah merek DHT yang hanya dijual di Makassar. Tidak mengherankan jika yang membangun mitos ini adalah staf pemasaran pabrik sirup DHT :D

Makanan laut
Warung makanan laut favorit keluarga saya ada di dekat Pantai Losari, pantai kebanggaan masyarakat Makassar. Namanya Restoran Lae-lae. Disana, pengunjung bisa memilih ikan/udang/cumi/dll segar yang ada di dekat pembakaran ikan yang harum berasap, dan menentukan pesanannya diolah seperti apa (rebus, goreng, bakar, dll). Setelah itu baru mencari tempat duduk.

Kue-kue
Yang selalu ada dalam bekal makanan saya saat kembali ke Jakarta adalah kue bolu. Toko kue langganan ayah saya adalah toko kue Adi Jaya, berada persis di sebelah Coto Sunggu, di Sungguminasa. Kadang-kadang saya juga membawa kue bolu dari toko ini ke Jakarta untuk paman saya yang tinggal di Bintaro.
Ssalah satu sahabat baik ibu saya sejak SMP jago masak. Kadang ibu saya cuma bilang ke sahabatnya itu bahwa saya sedang berada di Makassar, lalu 2-3 hari setelahnya saya pun disuruh mengambil kue di rumah sahabatnya itu. Rasanya seperti punya toko kue sendiri :D

Tentu saja, tidak ada yang lebih mendarah daging daripada masakan rumah; ikan rebus kuning dengan asam dicampur kecap manis, ikan bakar asin, sop kentang dan kacang merah, sop telur berkuah santan; terung bakar siram santan, tumis kangkung, soto Banjar a la ibu, dan apapun yang bisa ditemukan di kulkas pada jam 11 malam.

Sudah beberapa kali orangtua saya bertanya kapan saya akan membawa teman dari Jakarta untuk berlibur di rumah beberapa hari dan melanglang buana dalam tradisi kuliner Makassar. Tertarik?