Tuesday, July 31, 2007

Kata yang lahir dari hati yang sedang bergolak biasanya lebih lekat dan lebih menyala. Tidak demikian dengan kata yang diperas dari mengkalnya ide. Kata-kata jenis ini lebih cenderung hambar, lemah dan bahkan dibenci oleh sang penulis sekalipun.

Tapi jangan salah, bahkan sang Chairil Anwar pun pernah melahirkan puisi "mengkal", yang dibencinya pula. Perasaannya ini disampaikan dalam salah satu surat kepada H.B Jassin. Tetap saja, karena Chairil Anwar yang tulis, maka semengkal-mengkalnya puisi itu, abadi ia dalam sastra.

INI juga adalah kumpulan kata mengkal yang diperas dalam bilik temaram warnet di Makassar. INI adalah hasil dari hati yang sekarat saking hambarnya rasa di lubuknya.

Tidak untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa, hanya demi mempertahankan kewarasan dari kebosanan yang beracun dan sakit kepala akibat tidur 15 jam sehari.

Tuesday, July 03, 2007

Sekarang minggu ketiga, tepatnya hari Rabu. Sudah setengah jalan di bagian terakhir. Tinggal dua setengah minggu lagi sebelum tingkat 4 selesai.

Rasanya aku sudah jauh berjalan. Berjalan saja tanpa membawa pulang apa-apa. Kawan-kawanku pulang degan kepala tegak dan dada terbusung. Mereka sarjana. Mereka bekerja. Mereka merdeka.

Aku?

Masih di sini saja. Terjebak dalam rutinitas bis kuning jam setengah tujuh dan angkutan kota jam tiga sore. Tak ada apa-apa di antaranya.

Aku lelah. Aku ingin pulang. Padamu.

Tapi maukah kau menerimaku? Dua tahun lagi, katamu. Dua tahun lagi? Sanggupkah aku? Rasanya dua minggu lagi aku sekarat. Nyawa di ujung tebing. Waras di pinggir tubir.

Aku lelah dihela ke sana ke sini. Aku ingin berbaring. Baring saja bersamamu dan bercakap-cakap. Kita tidak begitu sering bercakap-cakap bukan? Betapa aku ingin bercerita padamu. Menularimu dengan jutaan kata dalam kepalaku yang bersipongang tiap saat. Lebih gaduh daripada sarang lebah yang sibuk meski diriku yang kau lihat dari luar hanyalah pohon berayun dihujani angin.

Jakarta, 20 Juni 2007