Salah satu softskill
yang saya rasakan berkembang sepanjang mengikuti seleksi beasiswa Fulbright
adalah kemampuan untuk tidak menjadi gila akibat harap-harap cemas yang
bertubi-tubi. Sejak April 2012 hingga Juli 2012, tidak ada satu kabar pun dari
AMINEF mengenai berkas yang saya kirim. Saya sampai di suatu titik yang membuat
saya pasrah dengan kelanjutan kabar lamaran Fulbright saya. Anehnya, seperti
saat pedekate sama pacar pertama
waktu SMP dan saat mendaftar masuk universitas, justru “titik kepasrahan” ini
yang membuat kisah akhirnya terasa semakin manis. You feel nothing to lose; you finally expect the unexpected.
Saya ingat pagi itu saya memulai pekerjaan dengan duduk
menumpang di meja dosen senior, membuka email, dan YEAAAAAY…!!! Akhirnya datang
juga email dari AMINEF yang menyatakan berkas saya lulus dan meminta konfirmasi
jadwal wawancara. Saya senang bukan kepalang sampai-sampai saya teriak dan
mengangkat tangan; untung tidak ada orang lain disitu. Padahal tahapan seleksi
sebenarnya masih sangat panjang. Sampai saat ini pun, H-5 keberangkatan saya ke
Amerika, proses seleksi masih tetap berjalan seperti yang disampaikan Pak Anies
Baswedan ketika mengisi keynote speech
saat Pre-departure Orientation
beberapa bulan lalu. “Truthfully, one is
not a Fulbrighter until one board that airplane to U.S.”
Kembali ke masalah wawancara. Wawancara Fulbright diadakan
di kota-kota besar, termasuk di Makassar. Jadi saya tidak perlu keluar kota
untuk menghadirinya. Instruksi pra-wawancara tidak ada yang terlalu spesifik;
cukup hadir tepat waktu, pelajari Study Objective (lagi-lagi)
dengan baik, dan tidak usah tegang.
Yeah, easier said than done. O ya,
saya hampir lupa menambahkan bahwa kami diminta menyiapkan biosketch untuk keperluan wawancara. Biosketch ini semacam resume singkat 3 paragraf tentang latar
belakang pelamar, rencana bidang studi dan manfaat yang diharapkan setelah
selesai studi.
Pada hari yang dimaksud, saya datang ke hotel yang ditempati
wawancara dengan pakaian seperti mau ke resepsi. Uncomfortable clothing adds up the uncomfortable feeling. Tapi ya
sudahlah. Melihat beberapa pelamar keluar wawancara tidak sambil menangis, saya
mencoba menabahkan diri. “SO kamu yang buat, ilmunya kamu yang tahu. Jadi nggak
usah khawatir,” kata saya kepada diri sendiri. Sambil menunggu, ada dua pelamar
di samping saya. Satunya berasal dari kampus yang sama dengan saya, satu lagi
dari kampus di Kendari. Dari kami bertiga, saya giliran terakhir. Rekan
sekampus saya keluar dan menceritakan kondisi wawancaranya yang hampir dua kali
lebih lama dibanding yang lain. You know
what, it doesn’t help. Dan saya melanjutkan menunggu.
“Mr. Qushay Umar Malinta, please come in.”
Ada empat orang di ruangan. Yang duduk di ujung mbak Adeline. Dua orang profesor di tengah adalah alumni Fulbright. Satu bule di ujung lainnya adalah Fulbrighter AS yang sedang riset di Makassar.
“Apa isi study objective Anda? Apa Anda lebih suka tinggal di lingkungan kampus atau di luar kampus? Apa manfaat pendidikan Anda bagi masyarakat Indonesia? Apa Anda tegang? O, Anda tidak tahu tentang ini? Kenapa harus di USA? Apa Anda tahu siapa peneliti terpenting di bidang tersebut?”
Waktu terasa hilang. Massa kepala jadi berkali-kali lipat. Pensil jadi keriting di tangan saya. Semua teori relativitas Einstein terjadi selama 20 menit di ruangan itu.
Saya berusaha menangkap pertanyaan mereka, mengolah, mencerna, dan menjawabnya dengan kemampuan yang saya miliki. Saya mencatat pertanyaan, komentar & saran mereka di kertas yang disediakan. Tidak semua bisa saya jawab sesuai harapan, namun sebagian besar pertanyaan bisa saya komentari. Saya sangat yakin bahwa profesor berambut putih di depan saya ini, yang nada suaranya paling santai dan sorot matanya paling ringan, sudah meng-googling semua istilah yang ada di dalam SO saya. Saking tegangnya saya, ada satu pertanyaan dari beliau yang saya gagal saya jawab padahal itu adalah hal yang sangat mendasar di bidang saya. JANGAN IKUTI KESALAHAN SAYA. Keep calm, be yourself, and if you don’t know something you should, admit it.
Saya sudah membaca ratusan tips mengikuti wawancara. Saya sudah diwawancara dan mewawancara ratusan kali pula. Nyatanya saya tetap tegang dan mendapatkan konsekuensi pahit dari kondisi tersebut.
Saya pun keluar dengan tingkat kepasrahan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Somehow I felt confident, but I’m not sure what the interviewers felt about me. So, there you go…
Yang namanya “tegang” hanyalah sebuah state of mind, hanya sebuah perasaan yang kendalinya ada 100% di pikiran kita sendiri. So, control your mind, control your fate.
Hasil wawancara umumnya akan keluar sekitar akhir Agustus. Ada tiga kemungkinan hasil seleksi pada tahap ini, yaitu:
-
Not a candidate
-
Alternate candididate
-
Principal candidate
Bagi saya, hasil terburuk bukanlah not a candidate, melainkan alternate candidate; yang tengah-tengah dan samar-samar. Beberapa rekan saya yang alternate candidate mengakui bahwa status mereka sangat membuat orang harap-harap cemas. Sebab faktanya memang demikian; jika Anda adalah principal, kelulusan Anda di tahap berikutnya tergantung hasil tes TOEFL dan GRE/ GMAT Anda SAJA. Namun jika status Anda adalah alternate, Anda diberi harapan kelulusan yang bisa terwujud bisa juga tidak; tergantung hasil tes Anda DAN alokasi dana Pemerintah AS pada tahun anggaran tersebut.
Pada masa-masa menunggu hasil seleksi, nggak banyak yang bisa kita lakukan lagi selain berdoa dan meminta sebanyak-banyaknya orang agar mendoakan kita. Tiap kali ada yang bertanya tentang status kelulusan Fulbright kamu, jawablah dengan se-positif mungkin dan jangan lupa minta doanya. Ini yang saya lakukan sehingga Tuhan mengasihani saya dan menjawab doa orang-orang baik di sekitar saya.
Hasilnya? Email dari AMINEF tertanggal 23 Agustus 2012
“Dear Mr. Mallinta,
Congratulations! I
am extremely pleased to inform you that you have been officially nominated as a
principal candidate for a Fulbright scholarship to pursue study for a Master’s
degree in the United States commencing with the Fall 2013 academic term.
blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla …
… …
Michael
E. McCoy
Executive
Director”
--- bersambung ke part 3 ---
No comments:
Post a Comment