Tuesday, February 13, 2007

Jaga IGD Bedah pertama

Jakarta, 13 Februari 2007

Pengalaman jaga di IGD bagian bedah pertamakali pasti berkesan buat semua yang pernah melakukannya. Begitu juga saya. Jaga bedah pertama saya, meskipun sangat melelahkan akibat pasien yang terus menerus masuk membanjir, sangat berkesan.

Yang paling berkesan, tentunya, adalah pengalaman pertama masuk kamar operasi yang biasa disingkat OK. Waktu itu, ada satu dokter calon spesialis (disebut juga residen) yang perlu bantuan di OK. Dia minta bantuan ke ko-as pria. Maka ikutlah saya ke OK dengan residen junior itu. Sebenarnya saya tak tahu apa-apa tentang prosedur apapun di ruang bedah, bahkan lokasi baju bedah yang bersih pun saya tak tahu. Tapi saya ikut saja dengan residen itu, yakin bahwa dia akan mengajari saya apapun yang diperlukan. Keyakinan yang timbul dari perasaan bahwa dalam pengertian tertentu, sesama junior (saya koas junior, dia residen junior) akan saling “menjaga”. Tapi, yang bikin saya seyakin itu ikut ke OK adalah karena dia residen bedah perempuan yang paling imut dan manis yang pernah saya temui. Dan saya senang sekali berada di sekitar perempuan yang menawan.

Begitulah, saya berganti pakaian di ruang ganti pakaian dan masuk ke OK. Ada beberapa kamar operasi di sana, masing-masing dengan peralatan lengkap. Selain kasus yang akan saya bantu, ada satu operasi lain sedang berjalan. Mesin entah apa itu yang berbunyi konstan tiap detik bergaung ke seluruh ruangan membawa semacam perasaan menenangkan bahwa masih ada kehidupan di sana. Tanpa bunyi itu, aura OK sungguh steril, bersih, tak bernyawa.

Tak lama kemudian, pasien yang akan ditangani tim kami sudah siap di salah satu OK. Residen cantik yang tadi mengecek persiapan terakhir. Saya setia mengikuti di belakangnya, tak peduli akan kesan betapa tak berpengalamannya saya. Kami berdua pun memakai masker dan topi bedah. Sepanjang yang saya amati, di seluruh ruangan itu, tinggal kami berdua yan belum memakai topi dan masker. Setelah itu, kami pun mulai bekerja.

Kasusnya ternyata bukan bedah sungguhan. Anak umur 4 tahun yang luka robek di lengan sepanjang setengah meter dan luka robek di kepalanya itu “cuma” perlu dijahit. Penjahitan sebenarnya bisa dilakukan di ruang IGD di lantai 1. Namun kondisi super-heboh dan super-ramai di lantai 1dan pasien anak yang tak mengerti apa-apa selain rasa sakitnya, tak mungkin merawat luka itu dengan mudah.

Ada 3 residen termasuk residen cantik itu, 2 perawat dan 1 koas (yaitu saya) yang menangani anak itu. Sebelum residen pria yang lebih senior mulai bekerja, anak itu tertidur dengan tenang seolah tak ada daging menjuntai yang sangat lebar di lengan kanannya. Saya memandangi wajah polos anak itu selagi dia tertidur sementara di latar belakang bunyi konstan dari mesin di ruang sebelah seperti meyakinkan bahwa anak ini masih hidup dalam mimpinya yang damai. Entah kenapa, rasa damai itu juga menular ke dalam saya, setidaknya sampai residen pria yang lebih senior memasukkan obat penenang lewat anus anak itu.

Perawat menyiapkan alat steril. Residen operator memulai prosedur penjahitan. Residen senior yang memandu residen operator sambil memegangi lengan kiri anak itu. Residen junior memegangi kepala anak itu dan saya menahan kaki. Kami bekerja tanpa banyak bercakap namun tiap kali keadaan menjadi terlalu tenang, ada saja seseorang mulai berkomentar. Saya mencoba ikut sewajarnya dalam setiap percakapan namun tak kuasa mengalihkan pandangan dari satu-satunya wanita di ruang itu: sang residen junior.

Suatu ketika, residen senior membuka percakapan dengan residen junior. Saya diam saja, dan lebih diam ketika tahu dari percakapan itu bahwa wanita cantik di depan saya ini, yang semakin menawan di balik maskernya dan kalung berinisial A di lehernya, sudah menikah dengan seorang spesialis saraf dan punya satu anak. God! I was staring to a beautiful yet married woman. Tapi, saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa menyukai dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan dalam wujud seorang wanita. Still of course, I was wishing that I were the lucky neurologist.

Aku sakit

Jakarta, 28 Januari 2007

Aku sakit. Tidak tampak dari luar, tapi kurasakan di dalam. Aku adalah contoh nyata keganjilan alam. Aku berpikir terlalu banyak, terlalu sering, tentang terlalu banyak hal yang sama sekali tidak penting, setidaknya tidak penting bagi kelangsungan hidupku sebagai mahasiswa kedokteran tingkat IV. Aku bisa berpikir tentang seseorang yang melintasiku saat menyeberang selama belasan menit sebelum aku bisa mengalihkan pikiran ke hal lain. Aku berpikir tentang hal-hal selagi di kamar mandi. Sejujurnya, aku paling sering memikirkan hal-hal tak penting itu ketika sedang mencuci pakaian atau mandi pagi, atau selagi buang air besar. Selain kamar mandi, tentu saja angkutan umum atau pasar swalayan. Bising di kepalaku seperti bantal kapuk yang robek akibat perang bantal dan bertebaran isinya. Memenuhi semua tempat. Hanya ada dua yang bisa meredamnya: tidur atau menulis (sebenarnya bukan menulis betulan; hanya bermain dengan pena atau papan tuts komputer). Tentu saja jauh lebih sering dan lebih gampang yang pertama daripada yang kedua. Gara-gara bising internal itulah aku sering sulit mengungkapkan sesuatu dengan gamblang dan jelas. Dan itu semakin menyiksa ketika keadaan mengharuskan tidak tidur atau menulis.

Semakin lama kurasa aku semakin sakit. Dan obatnya tak kunjung muncul.