One Honolulu's Saturday night saw me walking downhill alone after the
rain had stopped, so the silent bus stop offered me a seat; it didn’t
say a show was about to start. Some seconds later, an impromptu fountain
art performed just for me by a bursting, (un)-timely sprinkler; much
like the jazz radio inside my ears, only wetter. My skinny little
fingers started to tap under the spell cast on eyes and ears. That
wasn’t a bus stop; that was a teleporter to a hearty, smoky jazz club
back in '64.
Countless time passed, the artist
concluded. I was returned then and there; that magical moment ended so
the little boy in me trundled; exactly like when Papa held my hand back
home from my favorite kingdom park many, many birthdays ago.
------
Honolulu, May 26, 2014
Tuesday, May 27, 2014
Tuesday, February 18, 2014
Forever Not, An Arrow Flies
Between the two lands, between the two realms
Self-inflicted bondage pulled me to both dreams
Recycled friendship and sterilized crosshair;
I’m a cursed arrow, forever in flight
Like the days of Arctic without a night
Spread too thin, strained too hard,
Cast too far, lost all guard
Of all sense, ‘tis the worst
Limping soul, walking ghost
Sandy feet left no print
Gulped away by the blue
Thankfully,
A bottled message washed ashore
Words from home washed my sore
-----------------------
Honolulu, February 17, 2014
Tuesday, January 28, 2014
“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 4. Finally)
August 15, 2013 at 10:37am
Saya mengetik ini kira-kira 10 ribu meter di di atas Samudera Pasifik. Di monitor, ikon pesawat kecil sedang berada di tengah-tengah, menghadap ke kanan; ke benua Amerika. Di kanan saya seorang desainer sepatu dari Meksiko dan di kiri saya seorang ibu dari China. Saya sudah bisa bilang sama Pak Anies Baswedan,” Pak, berdasarkan definisi Bapak, saya sekarang sudah Fulbrighter betulan.”
Berada di pesawat ini membuat fase pasca memasukkan berkas online menjadi sangat singkat. Frase “tidak terasa” muncul di kepala saya. Tapi yakinlah, itu sangat terasa karena waktu habis setahun di antara kedua kejadian itu.
Ketika saya harus mengikuti Diklat prajabatan sambil mempersiapkan ujian TOEFL dan GRE.
Ketika saya diminta memilih lima universitas yang sesuai dengan bidang saya.
Ketika harap-harap cemas menunggu jawaban dari kelima universitas tersebut.
Ketika akhirnya jawaban dari Amerika datang satu persatu; kadang bikin melompat kegirangan; kadang bikin gigit jari.
Ketika saya mulai mengenal kandidat lain lewat facebook dan lewat Pre-departure Oritentation di Surabaya; perkenalan yang membuat kami akhirnya bisa saling mencela tanpa ada yang tersinggung.
Ketika jawaban atas pertanyaan “kapan berangkat” mulai berubah dari tahun menjadi bulan menjadi tanggal.
Ketika istri saya yang sangat hebat, yang saat itu sedang hamil besar, melalui hari-harinya mempersiapkan Lebaran sambil mempersiapkan kelahiran anak kami sambil mempersiapkan keberangkatan saya. Dua koper saya, satu tas perlengkapan melahirkan punya dia dan satu lagi punya si bayi perlahan-lahan mulai terisi hingga penuh.
Ketika istri saya akhirnya saya larikan ke rumah sakit delapan jam sebelum saya memulai perjalanan Fulbrighter dari Makassar
Ketika putri kami, Alma, lahir saat saya sedang mengikuti briefing pra-keberangkatan di AMINEF Jakarta.
---
Ada banyak sekali tips yang mau saya bagi tentang semua tahap itu. Namun sekarang semuanya terpendam jauh di dasar memori; tertimpa adukan rasa kegembiraan, kesedihan, kekhawatiran, kepasrahan, dan keyakinan. Tentang keluarga; tentang pendidikan; tentang rezeki yang tidak ada henti; tentang harapan dari semua orang yang tertumpu di pundak seorang Fulbrighter, seorang suami, seorang bapak, seorang anak, seorang kawan, seorang dosen, seorang murid, seorang Indonesia.
Pesawat yang saya tumpangi ini bukanlah Garuda, Delta, atau United. Pesawat yang saya tumpangi bernama Harapan dan bahan bakarnya adalah doa dan dukungan dari kalian dan jutaan orang lain. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sejauh ini.
Salam dari Amerika.
Saya mengetik ini kira-kira 10 ribu meter di di atas Samudera Pasifik. Di monitor, ikon pesawat kecil sedang berada di tengah-tengah, menghadap ke kanan; ke benua Amerika. Di kanan saya seorang desainer sepatu dari Meksiko dan di kiri saya seorang ibu dari China. Saya sudah bisa bilang sama Pak Anies Baswedan,” Pak, berdasarkan definisi Bapak, saya sekarang sudah Fulbrighter betulan.”
Berada di pesawat ini membuat fase pasca memasukkan berkas online menjadi sangat singkat. Frase “tidak terasa” muncul di kepala saya. Tapi yakinlah, itu sangat terasa karena waktu habis setahun di antara kedua kejadian itu.
Ketika saya harus mengikuti Diklat prajabatan sambil mempersiapkan ujian TOEFL dan GRE.
Ketika saya diminta memilih lima universitas yang sesuai dengan bidang saya.
Ketika harap-harap cemas menunggu jawaban dari kelima universitas tersebut.
Ketika akhirnya jawaban dari Amerika datang satu persatu; kadang bikin melompat kegirangan; kadang bikin gigit jari.
Ketika saya mulai mengenal kandidat lain lewat facebook dan lewat Pre-departure Oritentation di Surabaya; perkenalan yang membuat kami akhirnya bisa saling mencela tanpa ada yang tersinggung.
Ketika jawaban atas pertanyaan “kapan berangkat” mulai berubah dari tahun menjadi bulan menjadi tanggal.
Ketika istri saya yang sangat hebat, yang saat itu sedang hamil besar, melalui hari-harinya mempersiapkan Lebaran sambil mempersiapkan kelahiran anak kami sambil mempersiapkan keberangkatan saya. Dua koper saya, satu tas perlengkapan melahirkan punya dia dan satu lagi punya si bayi perlahan-lahan mulai terisi hingga penuh.
Ketika istri saya akhirnya saya larikan ke rumah sakit delapan jam sebelum saya memulai perjalanan Fulbrighter dari Makassar
Ketika putri kami, Alma, lahir saat saya sedang mengikuti briefing pra-keberangkatan di AMINEF Jakarta.
---
Ada banyak sekali tips yang mau saya bagi tentang semua tahap itu. Namun sekarang semuanya terpendam jauh di dasar memori; tertimpa adukan rasa kegembiraan, kesedihan, kekhawatiran, kepasrahan, dan keyakinan. Tentang keluarga; tentang pendidikan; tentang rezeki yang tidak ada henti; tentang harapan dari semua orang yang tertumpu di pundak seorang Fulbrighter, seorang suami, seorang bapak, seorang anak, seorang kawan, seorang dosen, seorang murid, seorang Indonesia.
Pesawat yang saya tumpangi ini bukanlah Garuda, Delta, atau United. Pesawat yang saya tumpangi bernama Harapan dan bahan bakarnya adalah doa dan dukungan dari kalian dan jutaan orang lain. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sejauh ini.
Salam dari Amerika.
What Lacks in Heaven
I’ve dwelled in a land called heaven
Where colors of the sky are always seven
Yet in this Eden I’m nothing but bone
Yanked and split and far I was thrown
Bearing my cracks far deep within
No more the drops that seep and clean
I wish there’s red still left in my marrow
To smear the cloud with the scraping arrow
Flickering stars, flickering pleas
None would deliver but the One Who Sees
Bath me not in milk
Cloth me not with silk
Lull me not with the song of a Siren
Whose eyes are blinding and scales are burning
For what I’ve yearned is just a rain
Warm rain that hugs and laughs and loves
A rain for me and no one else.
--------------------------------------
Honolulu, January 27, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)