"My days, my days,the ones have long been gone so far.The best times of life."
Jakarta, 9 Oktober 2005
Malam Senin. Mobil motor angkot bus lewat kencang di jalan Otista Raya. Saya makan di warung nasi uduk depan asrama UI Wismarini. Mau foya-foya sedikit, soalnya tadi buka cuma dengan air putih seteguk. Makan sendirian, seperti biasa.
Menu malam ini: soto ayam es jeruk. Tujuh ribu. Suapan pertama langsung terasa: sotonya agak terlalu gurih dan es jeruknya kurang gula. Sudahlah. Lanjut dengan suapan kedua sampai itu piring licin, itu mangkuk bersih, itu gelas tinggal berisi es. Di antara suapan-suapan, datang tamu tak diundang. Munculnya tiba-tiba, efeknya langsung terasa. Saya teringat ruang makan di SMU saya yang berasrama saat melihat potongan ayam di soto saya.
Ruang makannya disebut ruang saji. Lebarnya kira-kira 10 meter, panjangnya kira-kira 40 meter. Meja-meja kayu untuk enam orang berderet rapi tiga-tiga. Di luar jam makan atau kudapan jam 10 pagi, di atas tiap meja tersusun rapi 6 gelas dan sebuah tempat air minum yang selalu penuh. Di ujung ruangan ada meja panjang khusus untuk guru, staf dan tamu sekolah kalau ada. Kadang-kadang alumni yang berkunjung juga diajak guru makan di meja guru.
Sebenarnya tiap siswa bisa duduk di meja mana saja, tapi mereka biasanya sudah tahu di meja mana dia merasa paling nyaman setelah semester pertama. Entah karena posisi mejanya paling dekat ke dapur sehingga tidak jauh dari sumber makanan, ataupun karena orang-orang yang biasa duduk di meja tersebut adalah teman-teman dekatnya.
Waktu kelas 1, saya sering duduk di meja deretan tengah, paling jauh dari meja guru. Teman semeja saya laki-laki semua dan tidak tetap. Waktu kelas 2, saya duduk semeja dengan petinggi-petinggi OSIS (kelas 3) yang memilih meja yang paling dekat dapur. Mereka itu, selain aktif di kegiatan ekskul, juga aktif dalam hal mengunyah. Seringkali meja kami yang kosong paling akhir saat makan malam. Yang paling berkesan adalah meja saya waktu kelas 3. Posisinya paling ujung ke arah meja guru sebelah kiri. Di antara meja guru dan meja saya, ada satu deret meja lagi yang memisahkan. Penghuni tetap meja itu selain saya adalah Ihsan, Alif, Restu, Fajar dan Icha. Saya dan Ihsan kelas 3 IPA 1, Alif kelas 3 IPA 2, Fajar kelas 2.1, Restu dan Icha kelas 1.2.
Ihsan adalah teman kamar saya selain dua orang lain lagi (Efi dan Awi). Alif teman saya dari SD, bukan teman kamar tapi sering nongkrong di kamar saya. Fajar tinggal dua kamar di sebelah kamar saya, juga sering nongkrong. Restu adalah siswi baru yang kami (saya, Alif, Ihsan dan Fajar) nilai cukup bernyali untuk datang ke meja empat senior cowok pada suatu siang di bulan pertamanya sebagai siswi SMU. Jadilah dia anggota kelima meja kami. Karena satu kursi masih kosong, kami sepakat mencari siswi kelas 1 lagi agar Restu tidak “sendirian” di meja itu. Beberapa orang tidak pernah bertahan lebih dari sekali sampai akhirnya Icha muncul dan bertahan.
Kami berenam selalu berusaha makan bersama di meja itu siang dan malam kecuali ada hal-hal lain. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat kami mendapat menu makan siang istimewa.
Sebulan sekali, atau dua bulan sekali, atau sesemester sekali (tergantung tuah dari langit), menu makan siang istimewa kami berupa opor ayam dengan potongan kentang. Hari itu adalah rezeki para siswa yang sudah terbiasa dengan tempe dan tahu. Sejak melewati pintu masuk sampai tiba di meja masing-masing, wajah-wajah ceria terpasang di mana-mana. Tak terkecuali kami.
Jika menunya ayam, meja yang biasa makan sebakul, bisa jadi dua bakul. Yang biasa dua bakul jadi dua setengah bakul. Meja kami hari itu tercatat tiga kali menambah nasi yang biasanya cuma sekali. Semua meja di sekitar meja kami terheran-heran. Saat yang lain sudah meletakkan sendok, di meja kami cuma Restu dan Icha yang tidak berkutat dengan potongan ayam yang belum habis setengahnya. Bakul keempat tidak habis karena kerongkongan manusia hanya bisa melewatkan dan bukan menyimpan makanan.
Sejujurnya, kami juga heran sendiri. Maka analisis pun diluncurkan. Penyebab utama: menu istimewa. Penyebab sampingan: tidak satupun dari kami yang makan pagi dan mengambil jatah kudapan jam 10. Penyebab lain: kami adalah empat cowok dan dua cewek yang terkenal tetap lahap meskipun menunya tidak begitu membangkitkan selera.
Rasanya keceriaan dan tawa yang selalu hadir di meja itu nyaris mewujud di depan saya, di pinggir jalan Otista Raya. Saya segera membayar lalu pergi sambil menghembuskan napas panjang kerinduan.
1 comment:
k'q...setelah baca puisita jadi rindu ma suasana skolah yg dulu...apalagi sama meja makan paling belakang yg selalu heboh, kacaw, n ceria tentu ( cuz selalu dapat jatah dari guru.hahaha...)
Btw,kapan ya ada kesempatan makan semeja lagi...?
Post a Comment