Jakarta, 30 Maret 2005
Hari ini saya berbelanja di Carrefour MT. Haryono untuk persediaan jajanan dan perlengkapan pribadi bulan April. Sudah satu bulan lebih saya tidak ke Carrefour dan selama itu pula saya tidak melewati jalan setapak di sisi jalan MT. Haryono yang harus saya lalui jika hendak ke Carrefour.
Ada yang berubah sejak terakhir kali saya melewati jalan setapak itu. Saya tidak lagi mendapati pemukiman yang dulunya ada di dekat perempatan Cawang bawah jalan tol. Kini tempat itu berdiri tembok beton yang kokoh disertai pengumuman bahwa berdasarkan KUHP pasal entah berapa, tidak boleh membangun di tempat itu. Pemukiman kecil yang dulu ada di atas tanah tersebut kini tinggal puing-puing berserakan di balik tembok beton. Bekas-bekas jejak buldozer masih tercetak jelas di atas puing-puing dan di lapangan bola di di dekatnya. Ada dua orang ibu yang memunguti entah apa di balik tembok.
Terus terang saya sangat terkejut. Nurani saya teriris-iris sehingga napas saya agak tersengal ketika melewati jalan itu. Saya nyaris menangis. Dulu ada denyut kehidupan di sekitar perempatan tersebut. Ada kios kecil, ada perajin kompor minyak tanah, ada keluarga dan anak-anak kecil mereka. Sekarang itu semua tinggal kenangan dalam memori saya. Saya tidak berani membayangkan bagaimana kejadiannya saat mereka semua dibuldozer aparat. Saya juga tidak memiliki gambaran di mana mereka tinggal sekarang, atau bagaimana mereka mencari makan.
Orang yang sering melewati jalan Salemba Raya, jalan Diponegoro, dan jalan Matraman depan pasar Jatinegara pasti merasa jalanan tersebut agak lebih lengang akhri-akhir ini . Para pedagang kakilima, penjual makanan dan minuman yang biasanya mencari uang di pinggir jalan tersebut telah digantikan oleh bapak-bapak polisi pamong praja dilengkapi pentungan yang bersantai-santai di sekitar mobil dinasnya. Tampaknya pemerintah kota Jakarta lagi senang-senangnya melibas segala bentuk kemiskinan dan ketidakteraturan yang mengikutinya . Melibas, bukan meningkatkan taraf hidup orang-orang miskin. Kesimpulan ini saya ambil dari sikap pemerintah kota yang dampaknya terasa sangat jelas di sekitar daerah Cawang, Salemba, Diponegoro dan Jatinegara.
Ada teman saya yang merasa keadaan sekarang lebih baik dan lebih rapi. Saya malah jijik dengan keadaan sekarang. Saya tersiksa menghadapi kenyataan bahwa untuk sebuah “kerapian” dan “keteraturan” dan “kebijakan”, banyak rakyat kecil yang perlu dikorbankan. Jika memang orang-orang yang mengaku dirinya pemerintah tidak suka dengan orang miskin, sekalian saja buat pengumuman: “orang miskin dilarang berada di dalam batas kota Jakarta. Yang melanggar peraturan ini akan ditangkap polisi dan dideportasi keluar Jakarta pada hari itu juga.”
Ada juga teman saya menulis puisi tentang “kebijakan” baru pemerintah kota Jakarta. Judul puisinya Bajingan. Isinya jelas: dia mengutuk siapa saja yang terlibat dalam penindasan struktural yang semakin nyata terlihat beberapa minggu terakhir di Jakarta. Saya senang dengan puisinya.
Dan ketika saya hampir sampai di Carrefour MT. Haryono, sebuah bis Kopaja melintas dan di kaca belakangnya tertulis “BATAVIAKU”.
-----------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment