Jakarta, 22 Februari 2005
Menurutmu apa itu modern? Gaya hidup, cara pandang, atau sekedar trend? Pencarian tanpa ujung atas hegemoni terhadap hidup? Atau ketika manusia dihitung sebagai makhluk yang seharusnya berlaku efisien, produktif dan kreatif? Dan jika seseorang tidak memiliki kualitas-kualitas itu maka dia tidak masuk dalam hitungan? Kalau begitu dosen antropologi tidak akan lagi menyebut anak cucunya sebagai manusia, melainkan sesuatu yang baru: Neo sapien. Baru dan berpikir. Baru berpikir. Berpikir tentang hal baru.
Atau mungkin modern adalah sesuatu yang eksistensinya ditentukan atas sesuatu yang “maya”, cyberspace? Dunia yang membuat orang bisa menjadi siapa saja dan melakukan apa saja? Ini gaya hidup. Internet banking; Friendster dan kawan-kawannya; blog (-gers); antivirus, firewall dan penangkal junk mail yang paling cerdas; advanced search pada mesin-mesin pencari; account e-mail gratis dengan kapasitas 100 megabyte; VoIP, live chat, messenger? Video streaming dari teman, keluarga atau bahkan dari kamera di jalan-jalan protokol demi menghindari macet?
Macet. Aku jadi ingat sesuatu. Barangkali kau penggemar barang-barang besar yang sesuai harganya seperti mobil. Apakah kau menilai mobil dengan sistem pengereman ABS dan EBD, sistem audio video dengan layar sentuh (touchscreen) dan CD changer di dasbor, plus capasitor bank di bagasi demi suara bass sedahsyat konser? Jangan lupa, kau juga perlu GPS terintegrasi agar tidak pernah lagi tersasar ke pasar kaget atau demonstrasi yang menutupi jalan raya. Jika malam tiba kau bisa menyetir mobil yang lampu depannya bisa melirik ke sana ke mari berkat adaptive lighting. Saat parkir di garasimu, sensor parkir di segala sisi mobil bisa memberitahumu sehingga garasi mahal berornamen kayu tidak kau libas begitu saja. Tentu saja kau tidak usah tanya lagi apa ada catalytic converter di pantat tungganganmu, sebab si penjual mobil sudah memasangnya tanpa diminta demi menghindarkanmu dari razia emisi.
Bukan itu? Bagaimana kalau barang-barang kecil? Convergent gadget? Ponsel plus camcorder plus sistem operasi setaraf desktop plus akses internet broadband plus pemutar MP3 40 MB plus koneksi WiFi plus agenda digital plus rumahmu dan kantormu dan home theater-mu sekalian. Lupakan PDA. Terlalu sedikit yang bisa ditawarkan. Lupakan laptop, atau notebook, atau tablet PC atau apapun namanya. Terlalu berat, rentan dijambret, tak tahan goncangan dan makan tempat. Ingat, ini saatnya efisiensi, kreativitas, ketahanan.
Kemarin aku melihat iklan di TV. By the way, TV, terutama TV dengan tabung CRT adalah teknologi dari 6 dekade yang lalu. Siap dimasukkan ke museum budaya manusia. Salah. Siap dimasukkan ke museum budaya Neo sapien. OK, back to what I saw on TV. Iklannya begini: Wanita, duduk di sofa di ruang tengahnya. Di dinding ada TV plasma widescreen, di meja kaca ada camcorder, ada ponsel, ada pemutar MP3. Si wanita kemudian bangkit dari sofanya dan dunianya melipat ke dalam sedikit demi sedikit. TV plasma, camcorder, pemutar MP3, sofa, dinding dan rumah menyusut. Si wanita melangkah sedikit dan dunianya telah masuk ke dalam sebuah ponsel. Dimasukkannya ponsel itu, “dunianya”, ke dalam saku dan ia melenggang pergi. Di akhir iklan ada lambang salah satu produsen barang elektronik terkemuka.
Pesan yang kutangkap dari iklan itu adalah bahwa sang produsen tidak mengiklankan sebuah ponsel terbaru seharga sistem komputer desktop lengkap. Yang ditawarkan adalah sebuah gaya hidup, persis seperti pertanyaan-pertanyaanku tadi. Simplification. Penyederhanaan dari rutinitas dan kebutuhan beragam jenis. Tak peduli kau bangun pagi di cottage di Nusa Dua lalu ikut makan siang bisnis di salah satu hotel di Ginza. Kau adalah kosmopolitan; ada dimana-mana dan melakukan semuanya secara simultan. Kau ameboid (seperti Amoeba). Membelah diri. Identik. Tapi kau bukan Amoeba ‘kan?
No comments:
Post a Comment