“Makasih ya, yang tadi enak banget. Aku belum pernah nyoba yang itu.”
“Masak sih?”
“Bener, nggak percaya?”
“Percaya kok, Mas....”
Dan dia pun tersenyum. Jenis senyum yang meluluhkan semua kegilaan dunia dalam sebentuk bibir.
“Besok kesini lagi nggak?”
“Besok, dan besoknya lagi, sampai,…”
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu mau aku bawa pergi dari sini.”
Dan dia pun tertawa, menertawakan kenaifanku.
* * *
“Profesor? ” Sejak kapan kekasihku memanggilku “profesor”?
“Profesor Gantar?” Ternyata Asta, tangan kananku. Barusan aku teringat dia lagi.
“Maaf Profesor, ada alasan khusus mengapa selalu makan siang di warteg ini yang jauh begini dari rumah sakit Anda, Profesor?”
No comments:
Post a Comment