Saturday, November 05, 2016

On becoming a father

What does it mean to become a parent?
What does it mean to have a child; either biological or other?

I have been pondering these questions for a few years now. My first child, Alma, was born about 3 years ago and my second one, Qiyam, about a year ago. I am a biological parent to two lovely baby girls for some time now but I am still fighting to grasp the idea of becoming a father.

Few months before Alma was born, I actually Googled "how to become a father". As expected, I am not the only one feeling clueless while expecting their first one, which is why this particular blog that I have a been a fan of ever since, keeps growing it's readership number. And when Alma was born, I was on my way to the other hemisphere for a study opportunity that I have been offered a couple of years before. I only get to see my firstborn in person when she was almost 1 year old.

So, that leaves me back to square one when it comes to parenting, or fathering, to be exact. It was like having a one year old delivered to your lap and you have to figure out how you're going to support this person physically, psychologically, morally, socially, financially, ... and so on, for her entire life. No amount of blog walking neither a library of great parenting textbooks can prepare you for what's coming. It is the truest emotional (and sometimes physical) roller-coaster journey that you simply can't get off from. There's neither joy nor pain; it's both all the time, all the place.

I mean, you can find yourself feeling like a zombie at 3 a.m. from cradling for hours while trying to sleep when you little one's not feeling too well and your slightest move to rest one muscle fiber results in a haunting shriek from this... thing you're holding. Or when she is in her most radiant mood but she won't let you hug her for more than 2 seconds because she's too busy chasing something with her train of laughter.

So when my Alma tried a gown given by my mother this morning and she asked me to zip her up, a glimpse of her future life passed right before my eyes. Something struck a chord in my chest which almost condensate into a tear. Was it dread, fear, or joy in me thinking that she would ultimately be an adult and ask a person to zip her up? Is that person still going to be me, her mother, her husband perhaps, or...?

My wife refrain from such daydream because of this exact reason. She prefers to just live with our daughters in the now; taking all the joy and the pain, both literal and figurative, while raising them the best way she can. She had quit her job as a dentist in a respectable hospital since the final months of her first pregnancy until now.

I could not ask for more blessings in my life. Yet, ever since I become a father, there has been a realization in my mind that I am no longer living my life; that whatever I am doing as a father should be done to prepare for my family's life AFTER my death. This paradigm shift only started to occur when I become a father. I mean, never before I think about someone else's life in the event of me passing away.

I think, at least to me, this is the essence of becoming a parent: to prepare your offspring so that they're able to continue their life well when you're not around anymore. And that is the best but also the hardest job to have. Period.

Wednesday, May 04, 2016

Alumni SMUDAMA mimpi diwawancarai

Kamu alumni SMUDAMA ya? Angkatan berapa? Sekarang aktivitasnya apa?

Iya, saya SMUDAMA angkatan 5 (PENTAGEN). Sekarang saya jadi dosen di UNHAS.

Kalau kamu melihat ke belakang, apa peran terbesarnya SMUDAMA bagi kehidupanmu sekarang?

Wah, pertanyaan sulit. Banyak sekali perannya jadi bingung mau mulai dari mana. Yang jelas, kalau saya tidak masuk SMUDAMA, saya tidak bisa menjadi pengajar di UNHAS seperti sekarang.

Begitu ya. Apa memang sebanyak itu perannya?
Iya. Sebagai gambaran ya, kalau alumni SMUDAMA itu ngumpul, biasanya yang dibicarakan nostalgiaaa terus selama berjam-jam. Apalagi kalau alumni yang ngumpul itu yang angkatan atas.

Kayak angkatanmu?
Yap, hehehehe. Tidak jarang, kalau ada acara alumni SMUDAMA dan ada orang lain yang bukan alumni SMUDAMA ikut di situ, yang bukan alumni SMUDAMA bisa merasa tersisih karena pembicaraan selalu balik ke nostalgia.

Pengalaman pribadi?
Pengalaman pribadinya orang yang dia ceritakan sama saya.

Ooo…oke, oke. Jadi, kembali ke pertanyaan saya di atas. Kira-kira, nilai-nilai apa saja yang kamu dapat selama jadi siswa SMUDAMA, selama jadi alumni SMUDAMA, yang sangat berguna khususnya di bidang yang kamu geluti sekarang?

Mmm, yang jelas nilai persaudaraan. Saya dulu, … tuh nostalgia lagi kan…

Hehehe, ndak apa-apa, lanjutkan saja.

Setelah saya lulus SMUDAMA, saya ingin sekali kuliah di Bandung. Jadi, saya menghubungi alumni yang ada di Bandung. Saya merasa sangat diterima meskipun mereka itu senior 1-4 tahun di atas saya. Saya dijemput dari bandara, diinapkan di kontrakan mereka, diajak keliling kota, pokoknya saya sampai sekarang berhutang budi sama mereka.

Karena itu, ketika saya sudah kuliah juga, saya sangat gembira ketika ada alumni baru yang bertanya-tanya tentang tempat kuliah saya dan tips-tips lain. Akhirnya utang budi itu bisa saya balas, meskipun ke orang lain. Inilah rantai persaudaraan yang sangat terasa ketika jadi alumni.

Sekarang kan kamu dosen, dan pasti ada dong, alumni SMUDAMA yang jadi mahasiswa di tempatmu bekerja. Menurutmu, bagaimana hal itu mempengaruhi pekerjaanmu sebagai dosen?

Ini yang agak unik. Di satu sisi, seperti yang saya bilang di atas, rantai persaudaraan ini sangat memudahkan komunikasi. Di sisi lain, kelancaran komunikasi ini bisa saja dilihat oleh orang lain sebagai kolusi. Salah seorang mahasiswa saya yang kebetulan alumni SMUDAMA pernah dituduh teman-temannya mendapat bocoran soal ujian dari saya padahal tidak.

Beneer…?

Hahaha, tidaklah. Malah pernah ada mahasiswa saya yang sesama alumni saya berikan sanksi tegas atas pelanggaran. Waktu itu saya tidak tahu kalau dia alumni. Meskipun saya tahu juga tidak akan dikurangi sanksinya, justru bakal saya ingatkan kalau dia itu bisa mempermalukan nama SMUDAMA

Waah, kamu jangan galak-galak dong…

Mmm, saya juga tidak suka jadi dosen galak. Saya sukanya jadi dosen yang tegas.

Begitu ya. Ada contoh yang bisa kamu ceritakan selain nilai persaudaraan?

Jadi kan di SMUDAMA itu banyak tugas yang harus dilakukan, mulai dari tugas sekolah, tugas kegiatan ekskul, sampai kepentingan pribadi seperti mencuci baju, menyeterika, membersihkan kamar, dan semacamnya. Otomatis kan harus pintar-pintar membagi waktu. Pelajaran membagi waktu ternyata juga bermanfaat bagi saya ketika menjadi dosen karena tugas dosen tidak hanya mengajar; ada juga tugas kepanitiaan, pembimbingan mahasiswa, tugas mengajar di luar UNHAS, dan lain-lain.

Kamu mengajar di universitas lain juga?

Iya. Karena UNHAS punya beberapa universitas mitra, maka tidak jarang saya ditugaskan mengajar ke Ambon, Kendari, Kupang, dan kota-kota lain.

Sibuk sekali ya?

Sebenarnya mau dibilang sibuk tidak juga, tapi dibilang santai juga tidak. Tergantung cara mengatur waktu dan memilah-milah tugas saja.

Oke. Sekarang saya mau bertanya hal yang agak sensitif nih. Menurut kamu, hal apa yang masih bisa dibenahi dari SMUDAMA atau dari alumninya?

Saya tidak banyak tahu informasi SMUDAMA yang terkini. Tapi sepengetahuan saya, kondisi guru-guru SMUDAMA masih sangat perlu ditingkatkan. Jadi fokus perbaikan sebaiknya tidak hanya ke kondisi siswa saja. Saya pernah singgah di SMUDAMA dan mengunjungi beberapa guru di rumahnya. Di kompleks rumah guru itu, beberapa unit kondisinya sangat memprihatinkan. Hal ini selayaknya ditangani sesegera mungkin. Perlu saya tambahkan bahwa bagi guru-guru SMUDAMA, regenerasi, penyegaran ilmu dan kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi sama sekali tidak boleh dilupakan.

Kalau tentang alumni, saya juga pernah diingatkan oleh sesama alumni bahwa karya nyata alumni perlu lebih diperbanyak, misalnya dalam bentuk buku. Memang alumni rutin mengadakan bakti sosial di bidang kesehatan tetapi alumni kan tersebar di berbagai bidang. Jadi ide membuat buku itu perlu diwujudkan secepatnya.

Oke, mudah-mudahan usul-usul kamu bisa segera dilaksanakan. Karena keterbatasan waktu dan ruang, diskusinya kita cukupkan sampai di sini dulu ya. Terima kasih atas waktunya.

Sama-sama.

Tuesday, May 27, 2014

A Jazz Show for The Boy

One Honolulu's Saturday night saw me walking downhill alone after the rain had stopped, so the silent bus stop offered me a seat; it didn’t say a show was about to start. Some seconds later, an impromptu fountain art performed just for me by a bursting, (un)-timely sprinkler; much like the jazz radio inside my ears, only wetter. My skinny little fingers started to tap under the spell cast on eyes and ears. That wasn’t a bus stop; that was a teleporter to a hearty, smoky jazz club back in '64.

Countless time passed, the artist concluded. I was returned then and there; that magical moment ended so the little boy in me trundled; exactly like when Papa held my hand back home from my favorite kingdom park many, many birthdays ago.

------
Honolulu, May 26, 2014

Tuesday, February 18, 2014

Forever Not, An Arrow Flies



Between the two lands, between the two realms
Self-inflicted bondage pulled me to both dreams

Recycled friendship and sterilized crosshair;

I’m a cursed arrow, forever in flight
Like the days of Arctic without a night

Spread too thin, strained too hard,
Cast too far, lost all guard

Of all sense, ‘tis the worst
Limping soul, walking ghost

Sandy feet left no print
Gulped away by the blue

Thankfully,
A bottled message washed ashore
Words from home washed my sore
-----------------------

Honolulu, February 17, 2014

Tuesday, January 28, 2014

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 4. Finally)

August 15, 2013 at 10:37am


Saya mengetik ini kira-kira 10 ribu meter di di atas Samudera Pasifik. Di monitor, ikon pesawat kecil sedang berada di tengah-tengah, menghadap ke kanan; ke benua Amerika. Di kanan saya seorang desainer sepatu dari Meksiko dan di kiri saya seorang ibu dari China. Saya sudah bisa bilang sama Pak Anies Baswedan,” Pak, berdasarkan definisi Bapak, saya sekarang sudah Fulbrighter betulan.”

Berada di pesawat ini membuat fase pasca memasukkan berkas online menjadi sangat singkat. Frase “tidak terasa” muncul di kepala saya. Tapi yakinlah, itu sangat terasa karena waktu habis setahun di antara kedua kejadian itu.

Ketika saya harus mengikuti Diklat prajabatan sambil mempersiapkan ujian TOEFL dan GRE.

Ketika saya diminta memilih lima universitas yang sesuai dengan bidang saya.

Ketika harap-harap cemas menunggu jawaban dari kelima universitas tersebut.

Ketika akhirnya jawaban dari Amerika datang satu persatu; kadang bikin melompat kegirangan; kadang bikin gigit jari.

Ketika saya mulai mengenal kandidat lain lewat facebook dan lewat Pre-departure Oritentation di Surabaya; perkenalan yang membuat kami akhirnya bisa saling mencela tanpa ada yang tersinggung.

Ketika jawaban atas pertanyaan “kapan berangkat” mulai berubah dari tahun menjadi bulan menjadi tanggal.

Ketika istri saya yang sangat hebat, yang saat itu sedang hamil besar, melalui hari-harinya mempersiapkan Lebaran sambil mempersiapkan kelahiran anak kami sambil mempersiapkan keberangkatan saya. Dua koper saya, satu tas perlengkapan melahirkan punya dia dan satu lagi punya si bayi perlahan-lahan mulai terisi hingga penuh.

Ketika istri saya akhirnya saya larikan ke rumah sakit delapan jam sebelum saya memulai perjalanan Fulbrighter dari Makassar

Ketika putri kami, Alma, lahir saat saya sedang mengikuti briefing pra-keberangkatan di AMINEF Jakarta.

---
Ada banyak sekali tips yang mau saya bagi tentang semua tahap itu. Namun sekarang semuanya terpendam jauh di dasar memori; tertimpa adukan rasa kegembiraan, kesedihan, kekhawatiran, kepasrahan, dan keyakinan. Tentang keluarga; tentang pendidikan; tentang rezeki yang tidak ada henti; tentang harapan dari semua orang yang tertumpu di pundak seorang Fulbrighter, seorang suami, seorang bapak, seorang anak, seorang kawan, seorang dosen, seorang murid, seorang Indonesia.

Pesawat yang saya tumpangi ini bukanlah Garuda, Delta, atau United. Pesawat yang saya tumpangi bernama Harapan dan bahan bakarnya adalah doa dan dukungan dari kalian dan jutaan orang lain. Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sejauh ini.

Salam dari Amerika. 

What Lacks in Heaven


I’ve dwelled in a land called heaven
Where colors of the sky are always seven

Yet in this Eden I’m nothing but bone
Yanked and split and far I was thrown

Bearing my cracks far deep within
No more the drops that seep and clean

I wish there’s red still left in my marrow
To smear the cloud with the scraping arrow

Flickering stars, flickering pleas
None would deliver but the One Who Sees

Bath me not in milk
Cloth me not with silk

Lull me not with the song of a Siren
Whose eyes are blinding and scales are burning

For what I’ve yearned is just a rain
Warm rain that hugs and laughs and loves
A rain for me and no one else.

--------------------------------------
Honolulu, January 27, 2014

Monday, September 09, 2013

A student-wayfarer in Honolulu

Fourth Saturday night in Honolulu. A hundred plus Indie Rock songs blaring out from the laptop. After dinner, I continue my weekly ironing with the new Black and Decker. Previously I used shared iron belongs to the dorm which melted it's own plastic.After that, the black leather shoes I brought from Indonesia had their first ever Hawai'ian pampering with some water and Kiwi polish. Some military-looking guy in Youtube showed me how to do it many, many years ago.

All is well in Honolulu. In this capital of leisure and vacation, once more I become a wayfarer; a student-wayfarer. Courses may be more advanced than what I was prepared for, but everyone is so helpful to this kid.

Did I mention that I live in THE vacation place? Well, I haven't even venture farther than the campus and Walmart, but I did scratch my lovely blue pen in Fodor's tourist guidebook "O'ahu and Honolulu". I dive with the green turtles, ride the monster surf on North Shore, sip the Aloha spirit from every Hawai'ians, all in my dreams after passing out from that book. Dreams are free, they said. Vacations? Not so much.

Yeah. I'm a student AND a wayfarer. Twice the poorer. Which was elegantly noticed by a young lady staffing a perfume booth at Ala Moana Center, the biggest (and maybe the only) open air mall in the whole country.

"Hi, Sir, where are you from?" she shot her first round. I don't need any perfume, and I know she's not gonna even offer me her collection once she knows what I do here. So I just smiled, nodded and waved. And kept walking.

"Hi, where are you from?
Persistent. A real saleswoman, then. "I'm from Indonesia.""Woooww!" The way she said that triggered some burst in my head.
"Do you even know where Indonesia is?" The burst in my head didn't reach my tongue. Thank God.

"How long have you been here? Are you on vacation?" She has some kind of European accent. Central European, maybe.

"No, I'm a student here." Aha! There's the off switch to any salesperson.

"How do find your study, then?" They taught her well. Before I knew, I explained more than what I expected. Thankfully she cued her goodbye.

"Well, good luck in your study,"
"Good luck to you too. Bye," I pulled away form her booth.

I felt a strange thing leaving that booth, 'though. Somehow I wanted to be offered one of those perfumes. I mean, that's what always happen in Indonesia when I have the heart to stop at a random "Hello" in the malls; I always ended up offered something: perfumes, health insurances, credit cards, motorbike installment plans, you name it.

Not this saleswoman. It seemed that she just wanted to have an honest little chat with me. On the other hand, the skeptic side of me was assured that she actually wanted to offer me something but turned off by the fact that I'm a student from some country she has never heard of.

I left Ala Moana choosing to believe that she was initially interested with the batik shirt I wore. The batik shirt was indeed a special one; it belonged to my late grandfather. My prayers for you there, Grandpa. Your grandson ventures again.

Monday, September 02, 2013

Marketing Food to Children: Anna Lappe at TEDxManhattan



One of the most powerful and most important TED/TEDx presentation I ever encountered. Anna Lappe, "We're talking about changing social norms.... To the junk food industry I say this: My children, ALL of our children, are none of your business."

I remember my cousin's birthday party at KFC in my hometown earlier this year and I can't agree more with Mrs. Lappe: there's a social "norm" that needs to be changed.

 

Wednesday, August 07, 2013

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 3. Online Application)



Setelah “kelulusan” wawancara, seseorang yang melamar beasiswa Fulbright akan disebut candidate. Ini sebutan yang pada hakikatnya (lagi-lagi) membuat harap-harap cemas. Dari definisi saja, kandidat berarti calon, yang artinya bisa saja tidak jadi mendapat beasiswa. Tapi ada sisi baiknya. Seorang candidate, baik principal maupun alternate, akan mulai merasakan kemanjaan yang dalam bentuk tiket pesawat, kamar hotel, dan serangkaian tes-tes mahal yang semuanya dibayarkan oleh AMINEF.

TAPIII, sebelum merasakan kemanjaan itu, harus isi online application dulu…

Ini adalah tahap seleksi berkas yang kedua. Jika pada tahap pertama, semua dokumen dikirim dalam bentuk fisik ke kantor AMINEF di Jakarta, maka seleksi tahap kedua ini, yang disebut online application, lebih rumit. Aturan pengisiannya betul-betul detail dan mutlak dipatuhi. Kalau tidak, online application itu akan error. Sebagai contoh, kalau di online application dibatasi 5 baris, ya baris keenam tidak akan muncul di versi finalnya. Kalau aturannya 50 kata, ya kata ke-51 tidak terhitung. Tipsnya? Baca dan patuhi semua yang aturan pengisian. They don’t put it there if it’s not important. Ingat sekali lagi bahwa penyeleksi yang ada di AS sana menerima ribuan lamaran dari seluruh dunia. Jangan main-main dengan mood mereka dalam membaca lamaran kamu.

O ya, kalau ada printer dan scanner yang bisa dipakai, itu akan sangat memudahkan. Ada banyak dokumen yang harus dikirim dalam bentuk fisik DAN dalam bentuk file melalui email ke AMINEF jika kita sudah selesai mengisi online application itu. Dokumen tersebut adalah:
-          Hasil pengisian online application. Jadi, setelah sukses mengisi formulir lewat internet, akan ada laporan hasil pengisiannya dalam bentuk pdf. Cetak file pdf ini untuk dikirim ke AMINEF dalam bentuk fisik dan dalam bentuk email.  

-          Signature form. Lembar ini akan otomatis muncul jika online application sudah terisi. Ini semacam lembar pengesahan yang ada kolom tandatangannya. Cetak filenya, tandatangani di kolomnya, lalu scan. Kirim fisiknya dan filenya ke  AMINEF

-          Transkrip nilai dan ijazah. Kirim dalam bentuk fisik dalam amplop resmi tersegel. Nah, ini dia masalah saya sampai sekarang. Berkali-kali saya memesan legalisasi transkrip dan ijazah ke Direktorat Pendidikan UI supaya hasilnya dimasukkan dalam amplop resmi, namun tidak pernah dipenuhi. Apa susahnya sih ngasih amplop berkop universitas??? Semoga kampus kamu tidak seaneh UI dalam hal ini. Jangan lupa di-scan untuk dikirim lewat email juga. JANGAN MENGIRIM TRANSKRIP DAN IJAZAH ASLI kamu. That’s YOUR life!!! Saya perlu menekankan ini karena kadang-kadang kita (baca:saya) melakukan hal-hal bodoh saking semangatnya.

-          Rekomendasi. Umumnya institusi pendidikan tinggi di Amerika meminta minimal 3 rekomendasi. Jadi karena saya sudah punya 1 surat rekomendasi waktu seleksi berkas awal dulu, saya tinggal minta 2 orang lagi untuk menandatangani kenarsisan saya. Tapi ini bukan asal narsis karena harus terkontrol (lihat lagi tips “menyusun” rekomendasi di part 1). Kalau kamu beruntung, yang kamu mintai rekomendasi akan membaca dan mengoreksi draft rekomendasi kamu. Kalau tidak, selamat berjudi dengan kenarsisanmu.

-          Paspor. Sebaiknya sejak awal ikut seleksi kamu sudah punya paspor atau paling tidak mulai mengurusnya. Paspor Indonesia bersampul hijau. Ada paspor khusus diplomat/ PNS yang tugas luar negeri yang bersampul biru. Untuk gampangnya, urus paspor reguler saja. Nah, kalau sudah punya, scan halaman identitas paspor itu lalu kirim ke AMINEF.

-          Resume. Sejujurnya, sampai saat ini saya tidak terlalu paham apa beda Resume, Study Objective dan Personal Statement. Tapi sebagai gambaran, resume intinya tentang diri kamu: dulu sekolah di mana, sekarang kerjanya di mana, pekerjaan sehari-hari seperti apa. Bentuknya paragraf yang harus muat dalam satu (1) halaman dan bukan dalam bentuk kolom seperti yang biasa kita dapati di Indonesia. Aturan lain yang jarang kita temui: RESUME JANGAN PAKAI FOTO. Aneh kan? Di negara kita yang namanya resume, CV, daftar riwayat hidup, dan sejenisnya = ajang buat narsis di pas foto. Nah, para penyeleksi Fulbright ternyata menganggap penambahan foto dalam CV/ resume itu tidak etis dan hanya memperbesar ukuran file.  

-          Study Objective. Aduh… ini lagi, ini lagi…. Begitu pikiran saya ketika email koreksi SO datang lagi dari AMINEF. Tapi apa boleh buat; tidak ada jalan lain. Ubah SO sesuai saran staf AMINEF. O ya, saya lupa bilang di part 1 bahwa di SO, tidak perlu mencantumkan nama universitas tertentu meskipun kamu MAUUUUU sekali masuk universitas itu. Alasannya karena semua dokumen yang kamu masukkan akan disebar ke 4-5 universitas yang punya program studi sesuai keinginan kamu. Jadi kalau di SO kamu terkesan begini,”Pokoknya saya mau sekolah di Harvard”, maka penyeleksi di Johns Hopkins mungkin akan bilang,” Nih anak mau masuk Harvard, ya udah nggak usah kita pertimbangkan.” Yang rugi siapa?

-          Personal Statement. Resume saya anggap sebagai perkenalan diri (CV dalam bentuk paragraf).  Sementara SO itu berkisar tentang alasan ketertarikan terhadap suatu bidang ilmu; terhadap prinsip mutual understanding yang mendasari pemberian beasiswa Fulbright; terhadap kultur pendidikan tinggi di AS secara umum. Nah, personal statement itu adalah kesimpulan dari resume dan SO. Personal Statement adalah kata-kata penutup dalam upaya kamu “merayu” penyeleksi di AS sana; gabungan dari “siapa saya” dan “apa yang saya mau dari bersekolah gratis di AS”. Itulah personal statement. Tapi untuk amannya, jangan percaya saya 100%. Coba cari sumber lain yang lebih meyakinkan.

-          Work Example. Alias makalah. Alias musuh bebuyutan saya yang bikin saya kuliah sampai 7 tahun. *sigh…. Yang diminta adalah makalah yang relevan dengan bidang studi yang kita pilih. Boleh bikin makalah baru ataupun makalah yang sudah dibuat untuk keperluan lain. Intinya, yang ingin dilihat adalah kemampuan kita dalam menulis secara ilmiah. Syarat: karya sendiri, 8-10 halaman A4, spasi 2. Begitu membaca syarat ini, otak culas saya langsung aktif: margin wide, font besar, perbanyak gambar & kata sambung, panjang-panjangkan kalimat, dst. Namanya juga usaha….Akhirnya saya minta bantuan ke peneliti berpengalaman yang kebetulan juga adalah Dekan di kampus saya. Setelah bertapa telanjang dada 3 hari di depan laptop, keluarlah “pusaka”: makalah baru 7 halaman + 1 halaman referensi tentang suatu penemuan yang heboh… di tahun 2009 (alias sudah basi). Ahhh, peduli setan, pokoknya kirim saja, hehehe….

-          Hasil tes TOEFL/ GRE/ GMAT*. TOEFL tau kan? Kalau GRE/ GMAT itu semacam tes potensi akademik; GRE buat exact science seperti MIPA & Psikologi sementara GMAT khusus untuk akuntansi. Sertifikat TOEFL  tidak perlu dikirim lagi kalau di seleksi berkas awal sudah dikirim.
*sebenarnya AMINEF akan mendaftarkan kita untuk ikut TOEFL-iBT dan GRE atau GMAT sebagai tahap berikut dari proses seleksi. Tapi kalau sudah pernah ikut tes tersebut, silahkan mengirim sertifikat hasil tes yang masih berlaku.

Urusan kirim mengirim file ke AMINEF juga cukup bikin pusing kepala. Penamaan file HARUS ikut aturan mereka. Ukuran tiap file yang dikirim MAKSIMUM 1 MB sementara hasil scan yang layak baca biasanya 1-2 MB. Kalau tidak patuh ya dijamin proses seleksi kamu jadi kurang lancar. Putar otak lagi deh…,

Dibandingkan tahap wawancara, tahap ini memang butuh lebih banyak “kerja”. Mulai dari urus paspor, ikut TOEFL, bikin legalisiran, bikin work example, bikin revisi SO, bikin PS, bikin resume, hadehhhhhh………….

Tapi kembali lagi ke niat awal. Siapa sih yang bakal senang kalau modal cuap-cuap di MS Word tahu-tahu ada yang mau kasih sekolah S2/ S3 gratis? Kamu kan?

--- bersambung ke part 4 ---

Tuesday, August 06, 2013

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 2. THE Interview)




Salah satu softskill yang saya rasakan berkembang sepanjang mengikuti seleksi beasiswa Fulbright adalah kemampuan untuk tidak menjadi gila akibat harap-harap cemas yang bertubi-tubi. Sejak April 2012 hingga Juli 2012, tidak ada satu kabar pun dari AMINEF mengenai berkas yang saya kirim. Saya sampai di suatu titik yang membuat saya pasrah dengan kelanjutan kabar lamaran Fulbright saya. Anehnya, seperti saat pedekate sama pacar pertama waktu SMP dan saat mendaftar masuk universitas, justru “titik kepasrahan” ini yang membuat kisah akhirnya terasa semakin manis. You feel nothing to lose; you finally expect the unexpected. 


Saya ingat pagi itu saya memulai pekerjaan dengan duduk menumpang di meja dosen senior, membuka email, dan YEAAAAAY…!!! Akhirnya datang juga email dari AMINEF yang menyatakan berkas saya lulus dan meminta konfirmasi jadwal wawancara. Saya senang bukan kepalang sampai-sampai saya teriak dan mengangkat tangan; untung tidak ada orang lain disitu. Padahal tahapan seleksi sebenarnya masih sangat panjang. Sampai saat ini pun, H-5 keberangkatan saya ke Amerika, proses seleksi masih tetap berjalan seperti yang disampaikan Pak Anies Baswedan ketika mengisi keynote speech saat Pre-departure Orientation beberapa bulan lalu. “Truthfully, one is not a Fulbrighter until one board that airplane to U.S.”


Kembali ke masalah wawancara. Wawancara Fulbright diadakan di kota-kota besar, termasuk di Makassar. Jadi saya tidak perlu keluar kota untuk menghadirinya. Instruksi pra-wawancara tidak ada yang terlalu spesifik; cukup hadir tepat waktu, pelajari Study Objective (lagi-lagi) dengan baik, dan tidak usah tegang. Yeah, easier said than done. O ya, saya hampir lupa menambahkan bahwa kami diminta menyiapkan biosketch untuk keperluan wawancara. Biosketch ini semacam resume singkat 3 paragraf tentang latar belakang pelamar, rencana bidang studi dan manfaat yang diharapkan setelah selesai studi.


Pada hari yang dimaksud, saya datang ke hotel yang ditempati wawancara dengan pakaian seperti mau ke resepsi. Uncomfortable clothing adds up the uncomfortable feeling. Tapi ya sudahlah. Melihat beberapa pelamar keluar wawancara tidak sambil menangis, saya mencoba menabahkan diri. “SO kamu yang buat, ilmunya kamu yang tahu. Jadi nggak usah khawatir,” kata saya kepada diri sendiri. Sambil menunggu, ada dua pelamar di samping saya. Satunya berasal dari kampus yang sama dengan saya, satu lagi dari kampus di Kendari. Dari kami bertiga, saya giliran terakhir. Rekan sekampus saya keluar dan menceritakan kondisi wawancaranya yang hampir dua kali lebih lama dibanding yang lain. You know what, it doesn’t help. Dan saya melanjutkan menunggu.

“Mr. Qushay Umar Malinta, please come in.”

Ada empat orang di ruangan. Yang duduk di ujung mbak Adeline. Dua orang profesor di tengah adalah alumni Fulbright. Satu bule di ujung lainnya adalah Fulbrighter AS yang sedang riset di Makassar.

Apa isi study objective Anda? Apa Anda lebih suka tinggal di lingkungan kampus atau di luar kampus? Apa manfaat pendidikan Anda bagi masyarakat Indonesia? Apa Anda tegang? O, Anda tidak tahu tentang ini? Kenapa harus di USA? Apa Anda tahu siapa peneliti terpenting di bidang tersebut?

Waktu terasa hilang. Massa kepala jadi berkali-kali lipat. Pensil jadi keriting di tangan saya. Semua teori relativitas Einstein terjadi selama 20 menit di ruangan itu.

Saya berusaha menangkap pertanyaan mereka, mengolah, mencerna, dan menjawabnya dengan kemampuan yang saya miliki. Saya mencatat pertanyaan, komentar & saran mereka di kertas yang disediakan. Tidak semua bisa saya jawab sesuai harapan, namun sebagian besar pertanyaan bisa saya komentari. Saya sangat yakin bahwa profesor berambut putih di depan saya ini, yang nada suaranya paling santai dan sorot matanya paling ringan, sudah meng-googling semua istilah yang ada di dalam SO saya. Saking tegangnya saya, ada satu pertanyaan dari beliau yang saya gagal saya jawab padahal itu adalah hal yang sangat mendasar di bidang saya. JANGAN IKUTI KESALAHAN SAYA. Keep calm, be yourself, and if you don’t know something you should, admit it.

Saya sudah membaca ratusan tips mengikuti wawancara. Saya sudah diwawancara dan mewawancara ratusan kali pula. Nyatanya saya tetap tegang dan mendapatkan konsekuensi pahit dari kondisi tersebut.

Saya pun keluar dengan tingkat kepasrahan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Somehow I felt confident, but I’m not sure what the interviewers felt about me. So, there you go

Yang namanya “tegang” hanyalah sebuah state of mind, hanya sebuah perasaan yang kendalinya ada 100% di pikiran kita sendiri. So, control your mind, control your fate.  

Hasil wawancara umumnya akan keluar sekitar akhir Agustus. Ada tiga kemungkinan hasil seleksi pada tahap ini, yaitu:
-          Not a candidate
-          Alternate candididate
-          Principal candidate

Bagi saya, hasil terburuk bukanlah not a candidate, melainkan alternate candidate; yang tengah-tengah dan samar-samar. Beberapa rekan saya yang alternate candidate mengakui bahwa status mereka sangat membuat orang harap-harap cemas. Sebab faktanya memang demikian; jika Anda adalah principal, kelulusan Anda di tahap berikutnya tergantung hasil tes TOEFL dan GRE/ GMAT Anda SAJA. Namun jika status Anda adalah alternate, Anda diberi harapan kelulusan yang bisa terwujud bisa juga tidak; tergantung hasil tes Anda DAN alokasi dana Pemerintah AS pada tahun anggaran tersebut.

Pada masa-masa menunggu hasil seleksi, nggak banyak yang bisa kita lakukan lagi selain berdoa dan meminta sebanyak-banyaknya orang agar mendoakan kita. Tiap kali ada yang bertanya tentang status kelulusan Fulbright kamu, jawablah dengan se-positif mungkin dan jangan lupa minta doanya. Ini yang saya lakukan sehingga Tuhan mengasihani saya dan menjawab doa orang-orang baik di sekitar saya.

Hasilnya? Email dari AMINEF tertanggal 23 Agustus 2012

“Dear Mr. Mallinta,
Congratulations! I am extremely pleased to inform you that you have been officially nominated as a principal candidate for a Fulbright scholarship to pursue study for a Master’s degree in the United States commencing with the Fall 2013 academic term.
blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla … … …
Michael E. McCoy
Executive Director”

--- bersambung ke part 3 ---