Setelah “kelulusan”
wawancara, seseorang yang melamar beasiswa Fulbright akan disebut candidate. Ini sebutan yang pada
hakikatnya (lagi-lagi) membuat harap-harap cemas. Dari definisi saja, kandidat berarti
calon, yang artinya bisa saja tidak jadi mendapat beasiswa. Tapi ada sisi
baiknya. Seorang candidate, baik principal maupun alternate, akan mulai merasakan kemanjaan yang dalam bentuk tiket
pesawat, kamar hotel, dan serangkaian tes-tes mahal yang semuanya dibayarkan oleh
AMINEF.
TAPIII,
sebelum merasakan kemanjaan itu, harus isi online application dulu…
Ini adalah
tahap seleksi berkas yang kedua. Jika pada tahap pertama, semua dokumen dikirim
dalam bentuk fisik ke kantor AMINEF di Jakarta, maka seleksi tahap kedua ini,
yang disebut online application,
lebih rumit. Aturan pengisiannya betul-betul detail dan mutlak dipatuhi. Kalau tidak,
online application itu akan error. Sebagai contoh, kalau di online application dibatasi 5 baris, ya
baris keenam tidak akan muncul di versi finalnya. Kalau aturannya 50 kata, ya
kata ke-51 tidak terhitung. Tipsnya? Baca
dan patuhi semua yang aturan pengisian. They
don’t put it there if it’s not important. Ingat sekali lagi bahwa
penyeleksi yang ada di AS sana menerima ribuan lamaran dari seluruh dunia.
Jangan main-main dengan mood mereka
dalam membaca lamaran kamu.
O ya, kalau
ada printer dan scanner yang bisa dipakai, itu akan sangat memudahkan. Ada
banyak dokumen yang harus dikirim dalam bentuk fisik DAN dalam bentuk file melalui
email ke AMINEF jika kita sudah selesai mengisi online application itu. Dokumen
tersebut adalah:
-
Hasil
pengisian online application. Jadi, setelah sukses mengisi formulir lewat
internet, akan ada laporan hasil pengisiannya dalam bentuk pdf. Cetak file pdf
ini untuk dikirim ke AMINEF dalam bentuk fisik dan dalam bentuk email.
-
Signature
form. Lembar ini akan otomatis muncul jika online application sudah terisi.
Ini semacam lembar pengesahan yang ada kolom tandatangannya. Cetak filenya,
tandatangani di kolomnya, lalu scan. Kirim fisiknya dan filenya ke AMINEF
-
Transkrip
nilai dan ijazah. Kirim dalam bentuk fisik dalam amplop resmi tersegel.
Nah, ini dia masalah saya sampai sekarang. Berkali-kali saya memesan legalisasi
transkrip dan ijazah ke Direktorat Pendidikan UI supaya hasilnya dimasukkan dalam
amplop resmi, namun tidak pernah dipenuhi. Apa susahnya sih ngasih amplop
berkop universitas??? Semoga kampus kamu tidak seaneh UI dalam hal ini. Jangan
lupa di-scan untuk dikirim lewat email juga. JANGAN MENGIRIM TRANSKRIP DAN IJAZAH
ASLI kamu. That’s YOUR life!!! Saya
perlu menekankan ini karena kadang-kadang kita (baca:saya) melakukan hal-hal
bodoh saking semangatnya.
-
Rekomendasi.
Umumnya institusi pendidikan tinggi di Amerika meminta minimal 3 rekomendasi. Jadi
karena saya sudah punya 1 surat rekomendasi waktu seleksi berkas awal dulu,
saya tinggal minta 2 orang lagi untuk menandatangani kenarsisan saya. Tapi ini
bukan asal narsis karena harus terkontrol (lihat
lagi tips “menyusun” rekomendasi di part 1). Kalau kamu beruntung, yang
kamu mintai rekomendasi akan membaca dan mengoreksi draft rekomendasi kamu. Kalau
tidak, selamat berjudi dengan kenarsisanmu.
-
Paspor.
Sebaiknya sejak awal ikut seleksi kamu sudah punya paspor atau paling tidak
mulai mengurusnya. Paspor Indonesia bersampul hijau. Ada paspor khusus
diplomat/ PNS yang tugas luar negeri yang bersampul biru. Untuk gampangnya, urus
paspor reguler saja. Nah, kalau sudah punya, scan halaman identitas paspor itu
lalu kirim ke AMINEF.
-
Resume.
Sejujurnya, sampai saat ini saya tidak terlalu paham apa beda Resume, Study Objective
dan Personal Statement. Tapi sebagai gambaran, resume intinya tentang diri
kamu: dulu sekolah di mana, sekarang kerjanya di mana, pekerjaan sehari-hari
seperti apa. Bentuknya paragraf yang harus muat dalam satu (1) halaman dan bukan
dalam bentuk kolom seperti yang biasa kita dapati di Indonesia. Aturan lain yang
jarang kita temui: RESUME JANGAN PAKAI FOTO. Aneh kan? Di negara kita yang
namanya resume, CV, daftar riwayat hidup, dan sejenisnya = ajang buat narsis di
pas foto. Nah, para penyeleksi Fulbright ternyata menganggap penambahan foto
dalam CV/ resume itu tidak etis dan hanya memperbesar ukuran file.
-
Study
Objective. Aduh… ini lagi, ini lagi…. Begitu pikiran saya ketika email
koreksi SO datang lagi dari AMINEF. Tapi apa boleh buat; tidak ada jalan lain. Ubah
SO sesuai saran staf AMINEF. O ya, saya lupa bilang di part 1 bahwa
di SO, tidak perlu mencantumkan nama
universitas tertentu meskipun kamu MAUUUUU sekali masuk universitas itu. Alasannya
karena semua dokumen yang kamu masukkan akan disebar ke 4-5 universitas yang punya
program studi sesuai keinginan kamu. Jadi kalau di SO kamu terkesan begini,”Pokoknya
saya mau sekolah di Harvard”, maka penyeleksi di Johns Hopkins mungkin akan
bilang,” Nih anak mau masuk Harvard, ya udah nggak usah kita pertimbangkan.”
Yang rugi siapa?
-
Personal
Statement. Resume saya anggap sebagai perkenalan diri (CV dalam bentuk paragraf).
Sementara SO itu berkisar tentang alasan
ketertarikan terhadap suatu bidang ilmu; terhadap prinsip mutual understanding yang mendasari pemberian beasiswa Fulbright;
terhadap kultur pendidikan tinggi di AS secara umum. Nah, personal statement itu adalah kesimpulan dari resume dan SO. Personal Statement adalah kata-kata
penutup dalam upaya kamu “merayu” penyeleksi di AS sana; gabungan dari “siapa saya”
dan “apa yang saya mau dari bersekolah gratis di AS”. Itulah personal statement. Tapi untuk amannya,
jangan percaya saya 100%. Coba cari sumber lain yang lebih meyakinkan.
-
Work
Example. Alias makalah. Alias musuh bebuyutan saya yang bikin saya kuliah
sampai 7 tahun. *sigh…. Yang diminta adalah makalah yang relevan dengan bidang
studi yang kita pilih. Boleh bikin makalah baru ataupun makalah yang sudah
dibuat untuk keperluan lain. Intinya, yang ingin dilihat adalah kemampuan kita
dalam menulis secara ilmiah. Syarat: karya sendiri, 8-10 halaman A4, spasi 2. Begitu
membaca syarat ini, otak culas saya langsung aktif: margin wide, font besar,
perbanyak gambar & kata sambung, panjang-panjangkan kalimat, dst. Namanya
juga usaha….Akhirnya saya minta bantuan ke peneliti berpengalaman yang
kebetulan juga adalah Dekan di kampus saya. Setelah bertapa telanjang dada 3
hari di depan laptop, keluarlah “pusaka”: makalah baru 7 halaman + 1 halaman
referensi tentang suatu penemuan yang heboh… di tahun 2009 (alias sudah basi). Ahhh,
peduli setan, pokoknya kirim saja, hehehe….
-
Hasil tes
TOEFL/ GRE/ GMAT*. TOEFL tau kan? Kalau GRE/ GMAT itu semacam tes potensi
akademik; GRE buat exact science seperti
MIPA & Psikologi sementara GMAT khusus untuk akuntansi. Sertifikat TOEFL tidak perlu dikirim lagi kalau di seleksi
berkas awal sudah dikirim.
*sebenarnya AMINEF
akan mendaftarkan kita untuk ikut TOEFL-iBT dan GRE atau GMAT sebagai tahap
berikut dari proses seleksi. Tapi kalau sudah pernah ikut tes tersebut, silahkan
mengirim sertifikat hasil tes yang masih berlaku.
Urusan kirim
mengirim file ke AMINEF juga cukup bikin pusing kepala. Penamaan file HARUS
ikut aturan mereka. Ukuran tiap file yang dikirim MAKSIMUM 1 MB sementara hasil
scan yang layak baca biasanya 1-2 MB. Kalau tidak patuh ya dijamin proses
seleksi kamu jadi kurang lancar. Putar otak lagi deh…,
Dibandingkan
tahap wawancara, tahap ini memang butuh lebih banyak “kerja”. Mulai dari urus
paspor, ikut TOEFL, bikin legalisiran, bikin work example, bikin revisi SO,
bikin PS, bikin resume, hadehhhhhh………….
Tapi kembali
lagi ke niat awal. Siapa sih yang bakal senang kalau modal cuap-cuap di MS Word
tahu-tahu ada yang mau kasih sekolah S2/ S3 gratis? Kamu kan?
---
bersambung ke part 4 ---