Wednesday, August 07, 2013

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 3. Online Application)



Setelah “kelulusan” wawancara, seseorang yang melamar beasiswa Fulbright akan disebut candidate. Ini sebutan yang pada hakikatnya (lagi-lagi) membuat harap-harap cemas. Dari definisi saja, kandidat berarti calon, yang artinya bisa saja tidak jadi mendapat beasiswa. Tapi ada sisi baiknya. Seorang candidate, baik principal maupun alternate, akan mulai merasakan kemanjaan yang dalam bentuk tiket pesawat, kamar hotel, dan serangkaian tes-tes mahal yang semuanya dibayarkan oleh AMINEF.

TAPIII, sebelum merasakan kemanjaan itu, harus isi online application dulu…

Ini adalah tahap seleksi berkas yang kedua. Jika pada tahap pertama, semua dokumen dikirim dalam bentuk fisik ke kantor AMINEF di Jakarta, maka seleksi tahap kedua ini, yang disebut online application, lebih rumit. Aturan pengisiannya betul-betul detail dan mutlak dipatuhi. Kalau tidak, online application itu akan error. Sebagai contoh, kalau di online application dibatasi 5 baris, ya baris keenam tidak akan muncul di versi finalnya. Kalau aturannya 50 kata, ya kata ke-51 tidak terhitung. Tipsnya? Baca dan patuhi semua yang aturan pengisian. They don’t put it there if it’s not important. Ingat sekali lagi bahwa penyeleksi yang ada di AS sana menerima ribuan lamaran dari seluruh dunia. Jangan main-main dengan mood mereka dalam membaca lamaran kamu.

O ya, kalau ada printer dan scanner yang bisa dipakai, itu akan sangat memudahkan. Ada banyak dokumen yang harus dikirim dalam bentuk fisik DAN dalam bentuk file melalui email ke AMINEF jika kita sudah selesai mengisi online application itu. Dokumen tersebut adalah:
-          Hasil pengisian online application. Jadi, setelah sukses mengisi formulir lewat internet, akan ada laporan hasil pengisiannya dalam bentuk pdf. Cetak file pdf ini untuk dikirim ke AMINEF dalam bentuk fisik dan dalam bentuk email.  

-          Signature form. Lembar ini akan otomatis muncul jika online application sudah terisi. Ini semacam lembar pengesahan yang ada kolom tandatangannya. Cetak filenya, tandatangani di kolomnya, lalu scan. Kirim fisiknya dan filenya ke  AMINEF

-          Transkrip nilai dan ijazah. Kirim dalam bentuk fisik dalam amplop resmi tersegel. Nah, ini dia masalah saya sampai sekarang. Berkali-kali saya memesan legalisasi transkrip dan ijazah ke Direktorat Pendidikan UI supaya hasilnya dimasukkan dalam amplop resmi, namun tidak pernah dipenuhi. Apa susahnya sih ngasih amplop berkop universitas??? Semoga kampus kamu tidak seaneh UI dalam hal ini. Jangan lupa di-scan untuk dikirim lewat email juga. JANGAN MENGIRIM TRANSKRIP DAN IJAZAH ASLI kamu. That’s YOUR life!!! Saya perlu menekankan ini karena kadang-kadang kita (baca:saya) melakukan hal-hal bodoh saking semangatnya.

-          Rekomendasi. Umumnya institusi pendidikan tinggi di Amerika meminta minimal 3 rekomendasi. Jadi karena saya sudah punya 1 surat rekomendasi waktu seleksi berkas awal dulu, saya tinggal minta 2 orang lagi untuk menandatangani kenarsisan saya. Tapi ini bukan asal narsis karena harus terkontrol (lihat lagi tips “menyusun” rekomendasi di part 1). Kalau kamu beruntung, yang kamu mintai rekomendasi akan membaca dan mengoreksi draft rekomendasi kamu. Kalau tidak, selamat berjudi dengan kenarsisanmu.

-          Paspor. Sebaiknya sejak awal ikut seleksi kamu sudah punya paspor atau paling tidak mulai mengurusnya. Paspor Indonesia bersampul hijau. Ada paspor khusus diplomat/ PNS yang tugas luar negeri yang bersampul biru. Untuk gampangnya, urus paspor reguler saja. Nah, kalau sudah punya, scan halaman identitas paspor itu lalu kirim ke AMINEF.

-          Resume. Sejujurnya, sampai saat ini saya tidak terlalu paham apa beda Resume, Study Objective dan Personal Statement. Tapi sebagai gambaran, resume intinya tentang diri kamu: dulu sekolah di mana, sekarang kerjanya di mana, pekerjaan sehari-hari seperti apa. Bentuknya paragraf yang harus muat dalam satu (1) halaman dan bukan dalam bentuk kolom seperti yang biasa kita dapati di Indonesia. Aturan lain yang jarang kita temui: RESUME JANGAN PAKAI FOTO. Aneh kan? Di negara kita yang namanya resume, CV, daftar riwayat hidup, dan sejenisnya = ajang buat narsis di pas foto. Nah, para penyeleksi Fulbright ternyata menganggap penambahan foto dalam CV/ resume itu tidak etis dan hanya memperbesar ukuran file.  

-          Study Objective. Aduh… ini lagi, ini lagi…. Begitu pikiran saya ketika email koreksi SO datang lagi dari AMINEF. Tapi apa boleh buat; tidak ada jalan lain. Ubah SO sesuai saran staf AMINEF. O ya, saya lupa bilang di part 1 bahwa di SO, tidak perlu mencantumkan nama universitas tertentu meskipun kamu MAUUUUU sekali masuk universitas itu. Alasannya karena semua dokumen yang kamu masukkan akan disebar ke 4-5 universitas yang punya program studi sesuai keinginan kamu. Jadi kalau di SO kamu terkesan begini,”Pokoknya saya mau sekolah di Harvard”, maka penyeleksi di Johns Hopkins mungkin akan bilang,” Nih anak mau masuk Harvard, ya udah nggak usah kita pertimbangkan.” Yang rugi siapa?

-          Personal Statement. Resume saya anggap sebagai perkenalan diri (CV dalam bentuk paragraf).  Sementara SO itu berkisar tentang alasan ketertarikan terhadap suatu bidang ilmu; terhadap prinsip mutual understanding yang mendasari pemberian beasiswa Fulbright; terhadap kultur pendidikan tinggi di AS secara umum. Nah, personal statement itu adalah kesimpulan dari resume dan SO. Personal Statement adalah kata-kata penutup dalam upaya kamu “merayu” penyeleksi di AS sana; gabungan dari “siapa saya” dan “apa yang saya mau dari bersekolah gratis di AS”. Itulah personal statement. Tapi untuk amannya, jangan percaya saya 100%. Coba cari sumber lain yang lebih meyakinkan.

-          Work Example. Alias makalah. Alias musuh bebuyutan saya yang bikin saya kuliah sampai 7 tahun. *sigh…. Yang diminta adalah makalah yang relevan dengan bidang studi yang kita pilih. Boleh bikin makalah baru ataupun makalah yang sudah dibuat untuk keperluan lain. Intinya, yang ingin dilihat adalah kemampuan kita dalam menulis secara ilmiah. Syarat: karya sendiri, 8-10 halaman A4, spasi 2. Begitu membaca syarat ini, otak culas saya langsung aktif: margin wide, font besar, perbanyak gambar & kata sambung, panjang-panjangkan kalimat, dst. Namanya juga usaha….Akhirnya saya minta bantuan ke peneliti berpengalaman yang kebetulan juga adalah Dekan di kampus saya. Setelah bertapa telanjang dada 3 hari di depan laptop, keluarlah “pusaka”: makalah baru 7 halaman + 1 halaman referensi tentang suatu penemuan yang heboh… di tahun 2009 (alias sudah basi). Ahhh, peduli setan, pokoknya kirim saja, hehehe….

-          Hasil tes TOEFL/ GRE/ GMAT*. TOEFL tau kan? Kalau GRE/ GMAT itu semacam tes potensi akademik; GRE buat exact science seperti MIPA & Psikologi sementara GMAT khusus untuk akuntansi. Sertifikat TOEFL  tidak perlu dikirim lagi kalau di seleksi berkas awal sudah dikirim.
*sebenarnya AMINEF akan mendaftarkan kita untuk ikut TOEFL-iBT dan GRE atau GMAT sebagai tahap berikut dari proses seleksi. Tapi kalau sudah pernah ikut tes tersebut, silahkan mengirim sertifikat hasil tes yang masih berlaku.

Urusan kirim mengirim file ke AMINEF juga cukup bikin pusing kepala. Penamaan file HARUS ikut aturan mereka. Ukuran tiap file yang dikirim MAKSIMUM 1 MB sementara hasil scan yang layak baca biasanya 1-2 MB. Kalau tidak patuh ya dijamin proses seleksi kamu jadi kurang lancar. Putar otak lagi deh…,

Dibandingkan tahap wawancara, tahap ini memang butuh lebih banyak “kerja”. Mulai dari urus paspor, ikut TOEFL, bikin legalisiran, bikin work example, bikin revisi SO, bikin PS, bikin resume, hadehhhhhh………….

Tapi kembali lagi ke niat awal. Siapa sih yang bakal senang kalau modal cuap-cuap di MS Word tahu-tahu ada yang mau kasih sekolah S2/ S3 gratis? Kamu kan?

--- bersambung ke part 4 ---

Tuesday, August 06, 2013

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (Part 2. THE Interview)




Salah satu softskill yang saya rasakan berkembang sepanjang mengikuti seleksi beasiswa Fulbright adalah kemampuan untuk tidak menjadi gila akibat harap-harap cemas yang bertubi-tubi. Sejak April 2012 hingga Juli 2012, tidak ada satu kabar pun dari AMINEF mengenai berkas yang saya kirim. Saya sampai di suatu titik yang membuat saya pasrah dengan kelanjutan kabar lamaran Fulbright saya. Anehnya, seperti saat pedekate sama pacar pertama waktu SMP dan saat mendaftar masuk universitas, justru “titik kepasrahan” ini yang membuat kisah akhirnya terasa semakin manis. You feel nothing to lose; you finally expect the unexpected. 


Saya ingat pagi itu saya memulai pekerjaan dengan duduk menumpang di meja dosen senior, membuka email, dan YEAAAAAY…!!! Akhirnya datang juga email dari AMINEF yang menyatakan berkas saya lulus dan meminta konfirmasi jadwal wawancara. Saya senang bukan kepalang sampai-sampai saya teriak dan mengangkat tangan; untung tidak ada orang lain disitu. Padahal tahapan seleksi sebenarnya masih sangat panjang. Sampai saat ini pun, H-5 keberangkatan saya ke Amerika, proses seleksi masih tetap berjalan seperti yang disampaikan Pak Anies Baswedan ketika mengisi keynote speech saat Pre-departure Orientation beberapa bulan lalu. “Truthfully, one is not a Fulbrighter until one board that airplane to U.S.”


Kembali ke masalah wawancara. Wawancara Fulbright diadakan di kota-kota besar, termasuk di Makassar. Jadi saya tidak perlu keluar kota untuk menghadirinya. Instruksi pra-wawancara tidak ada yang terlalu spesifik; cukup hadir tepat waktu, pelajari Study Objective (lagi-lagi) dengan baik, dan tidak usah tegang. Yeah, easier said than done. O ya, saya hampir lupa menambahkan bahwa kami diminta menyiapkan biosketch untuk keperluan wawancara. Biosketch ini semacam resume singkat 3 paragraf tentang latar belakang pelamar, rencana bidang studi dan manfaat yang diharapkan setelah selesai studi.


Pada hari yang dimaksud, saya datang ke hotel yang ditempati wawancara dengan pakaian seperti mau ke resepsi. Uncomfortable clothing adds up the uncomfortable feeling. Tapi ya sudahlah. Melihat beberapa pelamar keluar wawancara tidak sambil menangis, saya mencoba menabahkan diri. “SO kamu yang buat, ilmunya kamu yang tahu. Jadi nggak usah khawatir,” kata saya kepada diri sendiri. Sambil menunggu, ada dua pelamar di samping saya. Satunya berasal dari kampus yang sama dengan saya, satu lagi dari kampus di Kendari. Dari kami bertiga, saya giliran terakhir. Rekan sekampus saya keluar dan menceritakan kondisi wawancaranya yang hampir dua kali lebih lama dibanding yang lain. You know what, it doesn’t help. Dan saya melanjutkan menunggu.

“Mr. Qushay Umar Malinta, please come in.”

Ada empat orang di ruangan. Yang duduk di ujung mbak Adeline. Dua orang profesor di tengah adalah alumni Fulbright. Satu bule di ujung lainnya adalah Fulbrighter AS yang sedang riset di Makassar.

Apa isi study objective Anda? Apa Anda lebih suka tinggal di lingkungan kampus atau di luar kampus? Apa manfaat pendidikan Anda bagi masyarakat Indonesia? Apa Anda tegang? O, Anda tidak tahu tentang ini? Kenapa harus di USA? Apa Anda tahu siapa peneliti terpenting di bidang tersebut?

Waktu terasa hilang. Massa kepala jadi berkali-kali lipat. Pensil jadi keriting di tangan saya. Semua teori relativitas Einstein terjadi selama 20 menit di ruangan itu.

Saya berusaha menangkap pertanyaan mereka, mengolah, mencerna, dan menjawabnya dengan kemampuan yang saya miliki. Saya mencatat pertanyaan, komentar & saran mereka di kertas yang disediakan. Tidak semua bisa saya jawab sesuai harapan, namun sebagian besar pertanyaan bisa saya komentari. Saya sangat yakin bahwa profesor berambut putih di depan saya ini, yang nada suaranya paling santai dan sorot matanya paling ringan, sudah meng-googling semua istilah yang ada di dalam SO saya. Saking tegangnya saya, ada satu pertanyaan dari beliau yang saya gagal saya jawab padahal itu adalah hal yang sangat mendasar di bidang saya. JANGAN IKUTI KESALAHAN SAYA. Keep calm, be yourself, and if you don’t know something you should, admit it.

Saya sudah membaca ratusan tips mengikuti wawancara. Saya sudah diwawancara dan mewawancara ratusan kali pula. Nyatanya saya tetap tegang dan mendapatkan konsekuensi pahit dari kondisi tersebut.

Saya pun keluar dengan tingkat kepasrahan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Somehow I felt confident, but I’m not sure what the interviewers felt about me. So, there you go

Yang namanya “tegang” hanyalah sebuah state of mind, hanya sebuah perasaan yang kendalinya ada 100% di pikiran kita sendiri. So, control your mind, control your fate.  

Hasil wawancara umumnya akan keluar sekitar akhir Agustus. Ada tiga kemungkinan hasil seleksi pada tahap ini, yaitu:
-          Not a candidate
-          Alternate candididate
-          Principal candidate

Bagi saya, hasil terburuk bukanlah not a candidate, melainkan alternate candidate; yang tengah-tengah dan samar-samar. Beberapa rekan saya yang alternate candidate mengakui bahwa status mereka sangat membuat orang harap-harap cemas. Sebab faktanya memang demikian; jika Anda adalah principal, kelulusan Anda di tahap berikutnya tergantung hasil tes TOEFL dan GRE/ GMAT Anda SAJA. Namun jika status Anda adalah alternate, Anda diberi harapan kelulusan yang bisa terwujud bisa juga tidak; tergantung hasil tes Anda DAN alokasi dana Pemerintah AS pada tahun anggaran tersebut.

Pada masa-masa menunggu hasil seleksi, nggak banyak yang bisa kita lakukan lagi selain berdoa dan meminta sebanyak-banyaknya orang agar mendoakan kita. Tiap kali ada yang bertanya tentang status kelulusan Fulbright kamu, jawablah dengan se-positif mungkin dan jangan lupa minta doanya. Ini yang saya lakukan sehingga Tuhan mengasihani saya dan menjawab doa orang-orang baik di sekitar saya.

Hasilnya? Email dari AMINEF tertanggal 23 Agustus 2012

“Dear Mr. Mallinta,
Congratulations! I am extremely pleased to inform you that you have been officially nominated as a principal candidate for a Fulbright scholarship to pursue study for a Master’s degree in the United States commencing with the Fall 2013 academic term.
blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla blablabla … … …
Michael E. McCoy
Executive Director”

--- bersambung ke part 3 ---

Monday, August 05, 2013

“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?” (part 1)



“Lu??? Jadi Fulbrighter? Kok bisa?”

Ya, itulah kata-kata salah seorang teman kuliah ketika mengetahui saya lulus beasiswa Fulbright untuk sekolah Master (S2) di Amerika Serikat. Saya tahu betul dia tidak bermaksud merendahkan karena dia tahu betul mahasiswa macam apa saya ini ketika dulu kuliah S1.  

Teman saya itu berkata-kata demikian karena dia mengetahui dua fakta. Pertama: saya adalah mahasiswa-pemalas-tukang-bolos-dengan-IPK-pas-pasan-yang-lulus-karena-doa-dan-belas-kasihan-ribuan-orang. Fakta kedua: Fulbright adalah salah satu beasiswa paling bergengsi (dan paling memanjakan) yang ditawarkan buat orang Indonesia. Jadi dia bingung; kok bisa…?

Tulisan ini bukan untuk menjawab misteri Ilahi tersebut. Tulisan ini saya maksudkan sebagai kilas balik setelah menjalani salah satu proses seleksi terlama yang pernah saya alami: satu setengah tahun, man! Kayaknya cuma Nabi Syuaib AS yang pernah ikut seleksi lebih lama daripada seleksi Fulbright ini…(kalau saya nggak salah ingat kisah Nabi Syuaib AS, beliau itu dulu disuruh kerja sekitar 10 tahun sama seorang bapak baru dia boleh menikahi anak perempuan bapak itu). Syukur-syukur jika ada yang bisa mengambil manfaat dari tulisan saya ini.

Mari kita mulai flashback ini….
Part 1.
April 15th: The Date You Really Must Remember!
Satu setengah tahun yang lalu saya mulai mengikuti proses seleksi beasiswa Fulbright untuk tahun keberangkatan 2013. Proses itu dimulai pada awal 2012 ketika perwakilan AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation, www.aminef.or.id) mulai berkeliling Indonesia untuk menyebarkan informasi tentang beasiswa Fulbright yang mereka tangani. Mbak Adeline, staf AMINEF yang kebagian datang ke kampus saya, mengatakan syarat utama pendaftar Fulbright haruslah:
-          IPK S1 3,00                                                         
o   Saya: IPK S1 = 2,91; IPK profesi = 3,32. Kalau dirata-ratakan = 3,115. Nyarisss…
-          Bisa memimpin
o   Saya: mantan ketua OSIS SMP-SMU & ketua ekskul bantuan medis di kampus. Cukup meyakinkan…
-          Mengerti budaya Indonesia & budaya dunia
o   saya: nggak bisa bahasa daerah manapun, tapi saya ikut tim tari dan tim paduan suara waktu SMP dan SMA. Don’t ask.
-          Menunjukkan komitmen di bidang yang diminati
o   Saya: komitmen terbukti dengan menjadi mahasiswa 7 tahun.
-          Mau pulang ke Indonesia kalau program sudah selesai.
o   Saya: mau bangetlah, siapa yang nggak kangen sama coto Makassar, sop buntut, mie Aceh, dan segambreng makanan Indonesia yang enak-enak itu.
-          Bahasa Inggris nggak jelek-jelek amat (kalau ITP minimal 550; IBT minimal 79, IELTS minimal 6,0)
o   Saya: berkat nonton DVD sewaan SETIAP MALAM selama kuliah, nilai TOEFL ITP saya di atas 550. Lumayannnn….

Jadi dengan kondisi demikian, saya iseng-iseng mendaftar beasiswa tersebut. I mean, siapa sih yang nggak mau sekolah gratis, di Amerika pula?! Dengan semangat iseng-iseng (karena tidak yakin bisa lulus seleksi pertama) saya mulai melengkapi daftar dokumen yang harus dikirimkan ke AMINEF. Semuanya ada di formulir seleksi pendahuluan yang saya unduh dari situs AMINEF.

Ada belasan program beasiswa yang ditawarkan, mulai dari yang buat pertukaran pelajar SMU, pertukaran mahasiswa S1, beasiswa S2, beasiswa S3, beasiswa penelitian S3, banyak banget deh pokoknya. Saya fokus ke Master’s Degree program karena memang saya baru lulus S1. Itupun Master’s degree scholarship ada macam-macam; ada  yang untuk umum, ada buat yang berasal dari Papua, ada yang khusus bidang eksakta, ada yang kerjasama dengan DIKTI (DIKTI = Direktorat Pendidikan Tinggi à ini khusus buat dosen dan duitnya dari Pemerintah Indonesia, bukan dari Pemerintah AS), dan lain-lain. Untuk setiap program ada deadline mengirimkan berkas. Yak, betul deadline program saya adalah tanggal 15 April 2012.

Formulirnya menyuruh saya melengkapi dokumen seperti hasil TOEFL/ IELTS, rekomendasi dari atasan atau dosen waktu kuliah dulu, sama Study Objective (SO). SO ini yang paaaaaaaaaaaaaaaallllllllllllllllliiiiiiiiiiiiiinnnnnnnggggggggggg penting. Saking pentingnya, saya disuruh revisi SO sampai 6 kali sama staf AMINEF. Ini demi kebaikan pelamar juga sih, soalnya SO inilah yang akan dikirim ke universitas-universitas di Amerika dan menjadi salah satu alasan kuat penerimaan (atau penolakan) lamaran tersebut.

Ada banyak tips membuat SO Fulbright di internet. Tips yang paling penting: JANGAN COBA-COBA COPY-PASTE STUDY OBJECTIVE ORANG LAIN!!! Di negara kita, hal ini sangat sering diacuhkan oleh pihak yang berwenang. Tapi di Amerika, copy-paste = plagiarisme dan kultur mereka sangat membenci plagiarisme. “Trus, gimana dong??? Mana saya dulu tiap kali bikin makalah minimal seperempatnya ngopi punya temen…”

Tenang, kawan. Niat baik harus diikuti langkah baik pula. Saya juga dulu termasuk mahasiswa yang paling malas bikin makalah. Untungnya mbak Adeline ngasih semacam “insider tips” buat kita-kita yang mau nyusun Study Objective buat ngelamar Fulbright. Here they are:
-        -   MAKSIMUM 1 (SATU) HALAMAN. They can’t stress this enough. Kenapa? Ada puluhan ribu pelamar Fulbright dari seluruh dunia. Kalau SO kita lewat dari 1 halaman, jangankan dibaca, SO kita bakal langsung di-skip
-         -  Uraikan alasan spesifik mengenai hal berikut:
o   Kenapa kita memilih program studi/ bidang itu
o   Kenapa bidang itu cocok dengan latar belakang pendidikan kita
o   Kenapa harus di AS. Berikan ALASAN RASIONAL dan BUKAN MENJILAT.
§  Ini contoh alasan rasional: saya mau ke AS karena penemuan terbaru di bidang X yang saya minati diteliti oleh Profesor Y yang bertugas di universitas Z di Amerika Serikat.
§  Ini contoh menjilat: saya mau ke AS karena AS adalah negara paling maju, paling hebat, paling banyak penerima Nobel-nya, paling ini, paling itu, karena Presiden Obama pernah masuk SD di Menteng (apa coba?!)…
-          - Uraikan cita-cita/ rencana keterlibatan dalam masyarakat Indonesia sepulang studi nanti. Jelaskan apa sih manfaat menerima beasiswa Fulbright bagi diri pribadi kita, bagi institusi, bagi masyarakat di wilayah kerja/ tempat tinggal kita dan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
-          - Kembali ke tips nomor 1: MAKSIMUM SATU (1) HALAMAN.

 Jadi untuk membuat agar semua informasi tadi muat diketik dalam 1 halaman, bisa menarik minat orang Amerika yang SAMA SEKALI nggak mengenal kita maupun kualitas pribadi kita tanpa kita perlu datang bawa kue, oleh-oleh ataupun sesajen, memang butuh putar otak dan banting tulang.

O ya, the last thing about SO. Make sure your SO is written in the MOST PERFECT English! Minta bantuan keluarga, teman, atau siapapun itu yang kamu yakin bahasa Inggris-nya tidak ada cacatnya. Kalau perlu bayar penerjemah tersumpah untuk meng-Inggris-kan SO kamu.

Kedengarannya susah? Bung, ini belum apa-apa! Ini sama sekali belum apa-apa!

Ada kalimat sakti yang terus menerus saya putar ulang di kepala selama satu setengah tahun terakhir: “mau sekolah gratis di Amerika yang emang harus berjuang kayak gini. There’s no such thing as a free lunch!!!”

Dokumen lain yang tidak kalah penting adalah rekomendasi. Di tahap ini, kita cuma diminta memasukkan rekomendasi dari satu orang. Boleh atasan di tempat kerja saat melamar, boleh juga dosen kita saat kuliah dulu. Kalau kamu pernah minta rekomendasi sama “orang penting” kamu pasti pernah dengar kalimat ini, “Ya sudah, mana rekomendasinya saya tandatangan, isinya kamu tulis sendirilah!” Da*n! Disuruh mengarang-tapi-tidak-bebas lagi….

Maksud saya begini: kalau di rekomendasi itu kita terlalu memuji diri, pasti langsung ketahuan kalau yang menulis rekomendasi itu bukan orang yang menandatanganinya. Tapi kalau kita 1000% objektif menilai diri sendiri, kita bakal menulis berbagai kekurangan kita yang mungkin bakal bikin penyeleksi mikir 1000 kali buat nerima lamaran kita. Jadi kuncinya ada di pemilihan kata-kata.

Saya nggak bisa menjelaskan ini dengan baik karena kamu harus mengalami sendiri pergulatan batin dalam memilih kata-kata yang pas buat dituliskan di rekomendasi itu. Ingat, para penyeleksi di AS bakal membaca rekomendasi itu dan akan MENILAI KUALITAS KITA DARI SITU SAJA, setidaknya untuk permulaan.

Ingat juga bahwa kalau kamu lulus seleksi berkas awal, kamu akan diminta 2 rekomendasi tambahan lagi. Jadi, jangan menuliskan SEMUA keunggulan kamu yang kamu rasa betul-betul ada di dirimu dalam satu rekomendasi. “Tabunglah” sebagian keunggulan itu buat dimasukkan dalam 2 lembar rekomendasi berikutnya. Rekomendasi saya dari siapa saja? Yang pertama dari Dekan tempat saya bekerja, yang kedua dari Wakil Dekan II (Bagian Kepegawaian, Logistik &Keuangan) tempat saya bekerja, dan yang ketiga dari profesor yang dulunya adalah Wakil Dekan Urusan Kerjasama dan Pengabdian Masyarakat di tempat saya kuliah.

Sebagai dokumen tambahan, boleh-boleh saja kamu masukkan fotokopi semua piagam/ sertifikat/ dokumen apapun yang menjadi BUKTI KEGIATAN EKSKUL SELAMA KULIAH (piagam dari jaman kamu TK nggak perlu dimasukkan, bisa-bisa nanti ada ratusan lembar). Kalau mau masukkan piagam aslinya juga boleh sih, tapi jangan harap piagam itu dikembalikan sama AMINEF.

Kalau formulir sudah terisi lengkap, SO sudah rapi-jali, rekomendasi sudah “sempurna ketidaksempurnaannya”, sertifikat TOEFL sudah di tangan, dan piagam sudah dikopi; berkasmu JANGAN CEPAT-CEPAT DIKIRIM! Buat semua dokumen kamu dalam 2 rangkap: 1 rangkap dikirim, 1 jadi arsip pribadimu. Kalau perlu buat juga arsip digitalnya (simpan semua file/ hasil scan dokumen).

JANGAN MENGIKUTI KESALAHAN SAYA. Ada dua kesalahan besar saya:
1.       1. Saya nggak kepikiran buat nyimpan arsip berkas pertama ini. Belakangan saya menyesal karena lupa apa yang sudah saya tulis di SO & di rekomendasi, piagam apa yang sudah saya kirim, de el el, de es be. Jadi, BUAT ARSIP!
2.       2. Saya melewati deadline. Karena kebiasaan menunda-nunda yang kronik dari jaman kuliah, saya baru mengisi formulir, menyusun SO, mengkopi PADA MALAM TANGGAL 15 APRIL 2012, yang ternyata adalah hari Minggu!!! Hari Minggu = nggak ada jasa pengiriman yang buka. Goblok kan? Jadi, KERJAKAN DARI AWAL!

Hanya Allah Yang Maha Kuasa yang meluluhkan hati para staf AMINEF agar mau menerima berkas saya yang baru dikirim tanggal 16 April, padahal nyata-nyata tertulis di situs mereka, “Late or incomplete application will not be considered!

Sekian dulu cerita saya untuk part 1 ini. Kalau saya nggak malas ngetik, saya bakal buat part-part selanjutnya yang sudah saya lalui dalam 1,5 tahun terakhir, yaitu:
-          - Wawancara Fulbright
-          - Seleksi berkas tahap II
-          - Tes TOEFL-IBT, GRE & GMAT.
-          - Memilih universitas di Amerika
-          - Menunggu jawaban dari Amerika
-          - Pre-departure Orientation
-          - Menunggu keberangkatan
See you when I see you :P